Oleh: Amir Machmud NS
// pada peta tradisi/ pada peta konstelasi/ sepak bola bergerak dinamis/ menembus lorong-lorong kesempatan/ kita menangkap lolong sang jagoan/ pun kita simak gelora sang penantang//
(Sajak “Peta Euro 2024”, Juni 2024)
CUKUP kuatkah Inggris, tuan rumah Jerman, Prancis, dan Italia menjadi gantungan perkiraan merajai Euro 2024?
Inggris dengan kematangan kompetisi liganya, Jerman dengan basis staying power-nya, atau Prancis yang selalu mengetengahkan tim multikultur berteknik luar biasa.
Juga, pasti, Anda tak bisa mengabaikan Italia, Spanyol, Belanda, dan Portugal sebagai jagoan-jagoan dengan karakter bermain yang sarat dengan tradisi dan faktor pembeda?
Putaran final Piala Antarnegara Eropa tahun ini memaparkan jawaban atas usikan pertanyaan-pertanyaan semacam itu.
Jawabannya bisa membuat dahi berkerut. Konstelasi bergerak, walaupun diyakini belum berubah. Peta perlahan-lahan bergeser, dan kita mesti menskemakan ulang kekuatan Eropa lewat pergelaran Euro 2024, kali ini.
Hasil-hasil pertandingan, dan laju sejumlah tim dari grup penyisihan menyisakan pertanyaan serupa kajian: seperti apakah kemajuan-kemajuan yang dicapai Albania, Georgia, Slovenia, juga mengapa terjadi kemelempeman sejumlah kekuatan tradisi yang selama ini memberi warna di panggung Eropa, bahkan dunia?
Ketika harus berhadapan dengan Georgia di babak gugur 16 besar, Luis de la Fuente, pelatih Spanyol menyalakan tanda bahaya. La Furia Roja — juara 2008 dan 2012 — menyatakan respeknya menghadapi Khvicha Kvaratskhelia dkk.
“Kami sangat menghormati mereka. Mereka adalah tim yang menjalani turnamen ini dengan hebat, mengalahkan Portugal. Dan, berdasarkan pengalaman, kami melihat kinerja mereka meningkat dan mengalami kemajuan. Kami harus memberikan versi terbaik kami agar bisa lolos,” tutur de la Fuente, seperti dilansir cnnindonesia.com dari Football Espana.
Kata de la Fuenta, “Kami melihat mereka telah mengubah sistem, tetapi bukan ide yang mereka miliki, dengan pemain-pemain yang keluar dengan sangat cepat saat melakukan transisi. Kami harus sangat berhati-hati”.
Pelatih 63 tahun itu menyebut, motivasi dan konfidensi mereka makin kuat setelah mengalahkan Portugal 2-0 di babak grup. Tim racikan legenda Prancis Willy Sagnol itu makin berbahaya.
Di babak 16 besar, juara bertahan Italia ditantang Swiss, Jerman vs Denmark, Inggris vs Slovakia, Spanyol vs Georgia, Prancis vs Belgia, Portugal vs Slovenia, Belanda vs Rumania, dan Austria vs Turki.
Sekadar Kejutankah?
Dinamika pergeseran kekuatan adalah sisi lain yang ditunggu-tunggu oleh para pemuja kejutan. Itu adalah romantisme hasil dalam sebuah kompetisi. Sebaliknya, status quo tetap menginginkan peta dan konstelasi tak berubah, memuja kekuatan lama dengan segala warnanya. Yang berbicara hanya tradisi dan tradisi…
Dalam catatan, “kejutan” berupa kemenangan “hanya” 1-0 Inggris atas Serbia, misalnya, lalu imbang 1-1 dengan Denmark, dan 0-0 versus Slovenia, dari sisi mediatika adalah hasil yang mencengangkan. Juga Belanda yang kalah 2-3 dari Austria, lalu dipuncaki dengan Portugal yang dilibas 0-2 oleh Georgia.
Pada satu sisi, hasil-hasil itu bisa dimaknai sebagai “kejutan” karena keterusikan tim-tim status quo; namun pada sisi lain menggambarkan bahwa tak ada satu pun kekuatan yang bisa mengklaim kemenangan atas tim-tim yang dipandang ada di bawah level mereka.
“Kejutan-kejutan” itu juga membuka mata dunia bahwa Georgia, Albania, Slovenia, Austria, juga Swiss tak bisa lagi dipandang hanya sebagai penggembira di kancah Eropa. Bagaimanapun, ini adalah pesan tersirat bahwa negara-negara itu mulai melepaskan diri dari inferioritas.
Kecewa pada Inggris
Pada sisi lain, kekecewaan terutama teralamat kepada Inggris yang menjadi favorit kandidat juara. Juga pada beberapa segi, Italia dan tuan rumah Jerman. Empat tahun silam Italia juara. Jerman juga sedang membangun kekuatan Die Manschaaft setelah melemem di sejumlah turnamen mayor.
Dengan deretan pemain top yang bermain di liga-liga terpenting, The Three Lions menjanjikan untuk menampilkan impresivitas yang berbeda dari tim-tim lainnya. Apakah Hary Kane dkk kembali ke “kebiasaan”, bahwa mereka justru akan bermain buruk justru ketika diunggulkan, seperti di turnamen-turnamen sebelumnya?
Pelatih Gareth Southgate disorot keras para legenda Inggris karena mencoret Marcus Rashford dan Jack Grealish. Performa defensif dalam tiga laga di Euro 2024 akhirnya mengecewakan banyak orang. Para pemain dengan karakter ofensif macam Jude Bellingham, Declan Rice, Phil Foden, Bukayo Saka, dan Kobbie Mainoo tidak bermain dalam bentuk terbaik seperti di klub, dan malah seperti “hilang”.
Performa minimalis juga dirasakan dari pertunjukan Italia dan Jerman.
Dari sisi sejarah dan tradisi, kurang apa Italia? Namun, haruslah diakui, di bawah allenatore Luciano Spaletti Squadra Azzurra sedang kekurangan talenta. Yang menonjol dan makin matang hanya kiper Gianluigi Donnarumma. Hampir di semua posisi, tidak ada yang bisa diandalkan dengan kapasitas sebagai sosok pembeda.
Jerman juga mengalami hal serupa, meskipun Julian Nagelsmann sebenarnya memiliki pilar Ilkay Gundogan, Jamal Musiala, Florian Wirts, dan Kai Havertz. Juga senior seperti Toni Kroos, Antonio Rudiger, Manuel Neuer, dan Tomas Mueller.
Akan kita lihat, apakah performa tim-tim unggulan di babak gugur akan berubah. Masih ditunggu apakah Spanyol, Italia, Inggris, Jerman, Portugal dan Prancis akan larut dalam konfidensi tim-tim medioker yang sudah terbukti memberi kesulitan di fase grup.
Apakah Euro 2024 akan dikuasai oleh kekuatan tradisi, atau akan ada kejutan yang berlanjut?
Saya masih melihat, dinamika yang berlangsung di fase grup baru merupakan pergerakan, bukan pergeseran. Baru kejutan-kejutan instan, dan belum menggambarkan perubahan peta.
Rasa kepenasaran seperti ini justru akan menjadikan sepak bola makin menarik dalam kekukuhan ekspresi imajinasinya…
— Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —