Ilustrasi. Reka: wied SB.ID

Oleh Marjono

MENURUT World Health Organization WHO  (2020) stunting-tengkes adalah pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang/tinggi badan menurut usia yang kurang dari minus 2 standar deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO, yang terjadi karena kondisi ireversibel akibat asupan nutrisi yang tidak adekuat dan/atau infeksi berulang/kronis yang terjadi dalam 1.000 Hari Pertama Kelahiran (HPK).

Ringkasnya, antara usia dengan tinggi badan tidak berimbang (umur sama, tinggi beda).

Apakah semua balita pendek itu pasti stunting ? Jawabnya, tidak. Perlu diketahui bahwa tidak semua balita pendek itu stunting, sehingga perlu dibedakan oleh dokter anak, tetapi anak yang stunting pasti pendek. Maka kemudian, apa saja dampak stunting?

Kita bisa mencatat, seperti gagal tumbuh (berat lahir rendah, kecil, pendek, kurus), hambatan perkembangan kognitif dan motorik. Kemudian, adanya risiko penyakit tidak menular (diabetes, obesitas, stroke, penyakit jantung, dan lain sebagainya). Selain itu, terdapat kerugian ekonomi negara (kerugian setiap tahunnya : 2-3 persen Gross Domestic Pro-duct (GDP) juga disebut dengan Produk Domestik Bruto (PDB).

Stunting adalah kondisi gagal tumbuh pada balita yang diakibatkan oleh kekurangan gizi kronis dan ditandai dengan tinggi badannya yang berada dibawah standar. Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis dimana umumnya menyerang paru-paru.

Itulah mengapa, relasi stunting dengan tuberkulosis. Tuberkulosis yang tidak segera diobati dapat mempengaruhi  pertumbuhan anak dan bisa menyebabkan stunting.

Kondisi ini ditandai turunnya nafsu makan pada anak yang terinfeksi tuberkulosis menyebabkan tidak tercukupinya gizi anak tersebut untuk tumbuh dan berkembang. Balita dengan stunting beresiko hampir 3 kali lipat untuk terkena infeksi tuber-kulosis dan 8 kali untuk tengkes yang parah.

Kurangnya gizi akan menurunkan kekebalan anak terhadap kuman sehingga anak yang menderita stunting semaki rentan terhadap kuman tuberkulosis.

Penyebab stunting lebih dipicu atas kekurangan asupan gizi. Hal ini pun juga tersebab kemiskinan yang membalut, renbdahnya pengetahuan masyarakat terkait pemberian makan untuk bayi dan batita (kecukupan Air Susu Ibu/ASI).

Hal lain yang turut menyokong keterpurukan ini, yakni budaya masyarakat (adanya mitos dan “nyirik/menghindari” makanan tertentu saat hamil dan persalinan, misalnya larangan makan ikan dan daging hewan), kekerasan psikis dan penelantaran anak oleh orang tua, perkawinan usia anak, kehamilan tidak dikehendaki, penyakit jantung bawaan, kelainan metabolisme bawaan maupun kebersihan keluarga dan lingkungan (TBC, diare kronis, difteri, pertussis, dan campak, dll).

Presiden Joko Widodo menilai, penurunan stunting memerlukan koordinasi banyak kementerian/lembaga. Target menurunkan prevalensi stunting dari 37 persen di tahun 2014 menjadi 14 persen di akhir 2024 juga diakui sangat ambisius. Satu dari tiga anak balita Indonesia mengalami stunting atau kekurangan gizi kronis yang menyebabkan kekerdilan (stunting) pada 2014. Pada 2014, angka tengkes mencapai 37 persen. Setelah intervensi, angka menurun menjadi 21,6 pada 2022. Namun, pada 2023 penurunan hanya 0,1 persen dari tahun 2022 (Kompas, 11/6/2024).

Stunting bukan hanya urusan tinggi badan tetapi yang paling berbahaya adalah rendahnya kemampuan anak untuk belajar, keterbelakangan mental, dan yang ketiga munculnya penyakit-penyakit kronis. Itulah mengapa, target-target di atas, harus bisa kita capai, dengan kekuatan kita bersama semuanya bisa bergerak. Angka itu bukan angka yang sulit untuk dicapai asal semuanya bekerja bersama-sama. Maka kemudian, infrastruktur dan lembaga yang ada, harus digerakkan untuk memudahkan menyelesaikan persoalan stunting. Dari lingkungan mulai dari air bersih, sanitasi, rumah yang sehat, ini merupakan kerja terintegrasi dan harus terkonsolidasi.

Dilansir Pantura Post (23/6/2024), Pj Gubernur Jawa Tengah, Nana Sudjana menyatakan, peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-31 menjadi momentum untuk mempercepat penurunan angka stunting di wilayahnya.

Sebab, angka tengkes di Jawa Tengah saat ini masih 20,8%.  Harapannya, lewat Harganas ini sosialiasi bebas stunting dan upaya penurunan angka stunting terus dilakukan. Kita harus bahu-membahu bersama,Pemprov Jateng bersama BKKBN dan instansi terkait lainnya seperti TNI-Polri, serta dibantu oleh elemen masyarakat bahu-membahu dalam pencegahan dan penanganan stunting.

Hal itu dikatakan Nana di sela acara Family Fun Walk dalam rangkaian peringatan Harganas ke-31 tingkat Provinsi Jawa Tengah tahun 2024, di Kota Semarang.

Perkawinan Anak

Hingga kini, ekisting Tim Percepatan Penurunan Stunting/Tengkes (TPPS) hingga desa/kelurahan menjadi penting. Tak kalah penting, yakni pemberian program makanan tambahan, obat penambah darah, jambanisasi, akses air bersih, dan pencegahan perkawinan anak. Perkawinan usia anak bukan solusi untuk mengatasi persoalan ekonomi ataupun permasalahan sosial. Praktik ini justru akan menjerumuskan anak ke dalam masalah yang lebih kompleks.

Menurut Kasubdit Bina Keluarga Sakinah Kementerian Agama (Kemenag), Agus Suryo Suripto, Pemerintah menargetkan angka perkawinan anak turun hingga 8,74% pada 2024 dan 6,94% pada 2030. Jawa Tengah menduduki peringkat ke-7 dengan jumlah kasus pernikahan dini tertinggi di Indonesia. Dengan angka kasus mencapai 11.000 pernikahan dini (Solopos, 15/5/2024).

Maka kemudian, pendataan terkait jumlah ibu hamil, calon pengantin, dan anak usia dua tahun serta menekan kasus AKI, AKB, dan sebagainya juga menjadi penting. Mengenalkan stunting dan pencegahanya dalam bimbingan kepada para lajang atau pra nikah, diawali dengan memaknai tentang perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa (Pasal 1 UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan).

Batasan usia nikah baik untuk laki-laki mapun perempuan adalah 19 tahun. Batasan umur ini bertujuan untuk melindungi Kesehatan calon pengantin pada usia yang masih muda (UU Nomor 16 Tahun 2019 Tentang Perubahan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Per-kawinan). Tujuan Perkawinan adalah membentuk rumah tangga yang harmonis penuh dengan kedamaian, cinta kasih sayang dan penuh tanggung jawab antara suami isteri.

Apa itu Bimbingan Pra Nikah? Proses bimbingan dan pemberian bekal kepada calon pengantin atau para remaja yang telah memasuki usia perkawinan (minimal 19 tahun) tentang pengetahuan, kesadaran dan ketrampilan yang dibutuh-kan guna mewujudkan kehidupan keluarga yang sakinah/bahagia, adil, sehat dan sejahtera (Peraturan Dirjen Bimas Islam Kemenag, Nomor DJ.II/542 Tahun 2013).

Tujuan mengenalkan stunting dalam bimbingan pra nikah bagi para orang tua, pasangan suami-isteri (Pasutri), pasangan pengantin, atau pasangan calon pengantin (perjaka/gadis yang acap dilabel ting-ting), yaitu memiliki pengetahuan tentang stunting dan kesadaran untuk mencegahnya, memiliki kemampuan untuk pencegahannya, terlibat aktif dalam gerakan penghapusan stunting, menjaga keluarganya agar menjadi keluarga bebas stunting dan turut memberikan pengetahuan/edukasi bagi keluarga lain dalam pencegahan stunting di lingkunganya.

Bimbingan satu ini menjadi seksi, karena di dalamnya menjangkau soalan keluarga bahagia, tanggung jawab, kesehatan, pengasuhan anak, manajemen keuangan, life skill, dan seterusnya. Salah satu jalan untuk mengubah nasib adalah melawan stunting dan perkawinan anak.

Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Jawa Tengah