blank
Ilustrasi cegah stunting dengan pola asuh yang baik. Foto: Dok/Pixabay

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Dalam teori klasik H. L. Bloom (1974) gaya hidup, lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), pelayanan kesehatan, dan faktor genetik saling berinteraksi dan mempengaruhi status kesehatan seseorang.

Mengutip dari Laman Kemenkes, pada tumbuh kembang anak, faktor lingkungan merupakan faktor yang paling berpengaruh. Pertumbuhan sendiri mengacu pada peningkatan ukuran dan jumlah sel serta jaringan antar sel. Perkembangan adalah peningkatan kapasitas untuk struktur dan fungsi tubuh yang lebih kompleks. Pertumbuhan terjadi secara simultan dengan perkembangan.

Stunting merupakan masalah kekurangan gizi kronis yang dapat menghambat pertumbuhan anak dan mempengaruhi kemampuan emosional, sosial dan fisiknya. Stunting yang disebabkan oleh kekurangan gizi jangka panjang dapat dicegah melalui perbaikan gizi, pola asuh anak, dan akses terhadap sanitasi dan air bersih.

Dalam lingkungan sosial terdapat norma-norma yang diterapkan oleh masyarakat. Norma atau nilai-nilai dalam masyarakat ini membentuk budaya, karena kebudayaan biasanya dipahami sebagai sistem nilai-nilai dan norma-norma yang mengatur tingkah laku sekelompok orang atau masyarakat. Budaya akan membentuk pola pikir dan perilaku yang bisa mendukung maupun bertentangan dengan kesehatan.

Hal ini disebut dengan konstruksi sosial pada masyarakat, yang membuat prioritas, pengetahuan masyarakat, dan tanggung jawab pengasuhan anak dipengaruhi oleh konstruksi tersebut. Budaya juga dapat termanifestasi dalam bentuk-bentuk lain yang berkontribusi pada kasus stunting seperti pola pemberian makan, pernikahan dini, dan pengasuhan.

Perilaku ibu memegang peranan penting dalam pengasuhan, karena anak sangat membutuhkan perhatian dan dukungan orang tua dalam tumbuh kembangnya. Untuk mendapatkan zat gizi yang baik diperlukan pengetahuan orang tua yang baik dalam memberikan makanan bergizi seimbang.

Pola pengasuhan orang tua erat kaitannya dengan perilaku dan kebiasaan keluarga terutama dalam pemberian makan bagi bayi dan balita yang mencakup pemberian ASI tidak optimal (khususnya pemberian ASI non eksklusif) dan pemberian makanan pendamping ASI yang terbatas dalam kuantitas, kualitas, dan variasi. Dalam buku KIA Kemenkes, terdapat pedoman singkat dalam pemberian makanan bayi dan anak, yaitu :

1. Memberikan ASI eksklusif sampai bayi berusia 6 bulan

2. Melanjutkan pemberian ASI disertai Makanan Pendamping ASI (MP ASI). Pemberian MP ASI yang baik harus sesuai syarat berikut ini!

Tepat waktu, MP ASI diberikan ketika bayi berusia 6 bulan, saat ASI saja sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi.

Adekuat, MP ASI yang diberikan dengan mempertimbangkan jumlah, frekuensi, konsistensi/tekstur/kekentalan dan variasi makanan. Variasi makanan dalam MP ASI terdiri dari makanan pokok, yakni beras, biji-bijian, jagung, gandum, sagu, umbi, kentang, singkong, dan lain-lain. Makanan sumber protein hewani, ikan, ayam, daging, hati, udang, telur, susu dan hasil olahannya. Pemberian protein hewani dalam MP ASI diprioritaskan. Selain itu sumber protein nabati mulai diperkenalkan, yang terdapat dalam kacang kacangan (protein nabati), kedelai, kacang hijau, kacang polong, kacang tanah, dan lain lain. Lemak diperoleh dari proses pengolahan misalnya dari penambahan minyak, santan, dan penggunaan protein hewani dalam MP ASI mulai diperkenalkan buah dan sayur mengandung vitamin A dan C, jeruk, mangga, tomat, bayam, wortel, dan lainnya.

Aman, perhatikan kebersihan makanan dan peralatan. Mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan dan sebelum memberikan makanan kepada anak.

Diberikan dengan cara yang benar, MP ASI diberikan secara teratur (pagi, siang, sore atau menjelang malam). Lama pemberian makan maksimal 30 menit di lingkungan netral (tidak sambil bermain atau menonton TV), dan ajari anak makan sendiri dengan sendok dan minum dengan gelas.

Ning S