blank
Timnas U23 Indonesia siap bersaing dengan wakil Afrika, Guinea, guna memperebutkan satu tiket ke Olimpiade Paris 2024. Foto: dok/pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// lama nian harapan mencercah/ enam puluh delapan tahun/ lewat ikhtiar yang menggunung/ kadang dalam liku kelam jalan/ bakal tibakah tanda zaman/ yang mengubah keadaan?//
(Sajak “Mengulang Cahaya”, 2024)

BAKAL adakah kisah lebih indah dari kiprah tim sepak bola kita di Olimpiade 1956?

Bukankah sejauh ini, dari perjalanan sejarah Timnas Garuda, seperti tak ada yang seelok Melbourne, 68 tahun silam?

Dan, kita tak pernah bosan menceritakan ulang, mengilas balik sebagai sejarah sepak bola yang — bagi bangsa Indonesia — terasa menginspirasi, memotivasi, bahkan seolah-olah itulah puncak pencapaian yang dibanggakan sepanjang masa.

Bayangkanlah, gawang Maulwi Saelan dibombardir masif para penyerang Uni Soviet seperti Igor Netto, Valentin Ivanov, Eduard Sreletsoft, namun aman clean sheet hingga akhir laga.

Bayangkan pulalah para penyerang kita Rusli Ramang, Endang Witarsa, Thio Him Siang, atau Ramlan Yatim sesekali menyengat dengan tusukan-tusukan serangan balik ke gawang sang legenda Lev Yashin. Tak ada yang tembus untuk mengoyak jala Si Laba-laba Hitam.

Angka 0-0 menjadi akhir. Baru pada duel ulang, Pasukan Garuda racikan Antun “Toni” Pogacnik ditundukkan Beruang Merah 4-0. Kebanggaan membuncah, walaupun kalah. Kita tersisih oleh tim yang akhirnya meraih medali emas!

Lebih dari enam dasawarsa kemudian, suasana euforiatik semacam itu membuncah dari para pahlawan sepak bola muda. Kali ini yang menciptakan kegemuruhan perasaan adalah para pemain U23 dalam putaran final Piala Asia di Doha, Qatar.

Kemenangan sensasional atas tim-tim elite Asia — Australia, Yordania, dan Korea Selatan — menorehkan peristiwa bersejarah: sepak bola Indonesia “naik kelas”; dari tim yang di Asia Tenggara pun masih diremehkan, menjadi kekuatan yang tiba-tiba mengguncangkan.

Ramang, Saelan, Lev Yashin adalah nama-nama yang disandingkan dalam puja-puji tentang “peristiwa bersejarah”. Menjadi kisah legendaris yang bahkan telah termitoskan dalam generasi demi generasi sepak bola Indonesia.

Dan, kini sederet anak muda seperti Ernando Ari, Rizky Ridho, Witan Sulaeman, Pratama Arhan, Marselino Ferdinand, Justin Hubner, atau Rafael Struick menorehkan levelnya sendiri.

Sayang, dalam perebutan juara ketiga, 2 April kemarin, tim racikan Shin Tae-yong itu kalah 1-2 dari Irak lewat extra time. Lepas pulalah tiket otomatis ke Olimpiade Paris 2024. Dua tiket lainnya telah diklaim Uzbekistan dan Jepang sebagai finalis Piala Asia U23.

Indonesia masih punya kesempatan meraih tempat apabila bisa menundukkan wakil Afrika, Guinea dalam play off di Paris, 9 Mei nanti.

Terhenti oleh Kontroversi
Jika mengilas balik perjalanan di Doha, meskipun mengakui kekuatan Uzbekistan, sulit menampik kenyataan bahwa Garuda Muda terhenti di semifinal karena kontroversi kepemimpinan wasit asal Tionglok, Shen Yinhao dan “campur tangan” Video Assistant Referee (VAR) yang dikoordinasi Sivakorn Pu-udon.

Tiga keputusan yang mengubah keadaan menjadi elemen yang mempengaruhi mental para pemain.

Ini adalah dinamika pertandingan, namun tak bisa dipisahkan dari psikologi permainan yang meruntuhkan konfidensi. Seperti keluhan bek Indonesia Justin Hubner, “Kita memang main buruk, tetapi orang ini…”

Dia kesal, karena sedikitnya Shen memberi tiga keputusan VAR yang merugikan. Tidak memberi penalti saat Witan Sulaeman dilanggar, menganulir gol Muhammad Ferrari, dan mengartumerah kapten Rizky Ridho.

Terlepas dari opini tersebut, kini fokus harus langsung menuju play off. Guinea jelas bukan lawan mudah. Apalagi rata-rata tim Afrika “akrab” dengan atmosfer Prancis sebagai tempat laga, 9 Mei nanti. Sejumlah pemain Guinea juga tercatat bermain di Ligue 1.

Betapa sayang apabila tiket ke Paris 2024 yang sudah di depan mata terlepas. Bukankah ini kesempatan menoreh babak baru yang bisa menandingi dongeng legendaris Melbourne 1956?

Nah, akan adakah yang lebih indah dari Melbourne 1956?

Doha 2024 bagaimanapun adalah elok sejarah, pun melintaskan kegetiran.

Doha 2024 bagaimapun adalah indah pencapaian, pun membersitkan haru-biru perasaan.

Dan, laga di Stade Pierre Pibarot, Paris nanti akan menjadi ikhtiar meraih mimpi yang lainnya.

Menyala, abangku…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah