blank

Oleh : Dian Ardiansyah

Penemuan berbagai benda cagar budaya bawah laut (harta karun) di perairan Jepara memang tidak mengherankan lagi. Pasalnya, wilayah pesisir utara Jawa (Ujung Para) (red sekarang Jepara) dahulu sempat menjadi bandar perdagangan masa pemerintahan Ratu Kalinyamat abad ke-16 dan jalur utama  lalu lintas laut Nusantara.  Namun muncul pertanyaan di hati kita, masih adakah harta karun di perairan Jepara saat ini?

Menilik berbagai sumber sejarah, disamping menjadi pusat perekonomian di tahun 1549 hingga 1579, Jepara memegang peranan yang sangat penting dalam bidang politik dan pertahanan. Seperti yang dituliskan dalam buku “Sejarah Ratu Kalinyamat” oleh Chusnul Hayati. dijelaskan bahwa sebagai kota pantai, Jepara merupakan kota bandar perdagangan yang didatangi berbagai suku bangsa, baik untuk tinggal sementara maupun menetap.

Orang–orang dari Cina dan Gujarat juga banyak yang berdatangan ke pelabuhan ini. Selain berperan sebagai pelabuhan transito, Jepara juga menjadi pengeksport barang kebutuhan seperti beras, gula, madu, kayu, kelapa, kapok, dan palawija. Tentunya keberhasilan ini didukung beberapa kerajaan maritim lainnya seperti Johor, Aceh, Maluku, Banten dan Cirebon.

Tom Pires dalam bukunya “Suma Oriental” juga memuji Jepara sebagai tempat labuh terbaik dari sekian banyak tempat yang dikunjunginya. Begitu juga seorang ahli sejarah Domine Francois Valentijn yang menyimpulkan Jepara sebagai pelabuhan bagi para pedagang kecil di awal berdirinya dengan kondisi di pesisir pantai.

Dalam buku H.J Graft (1998) dikatakan bahwa, pada abad ke ke-15 dan ke-16, pedagang Cina dari wilayah Cina Selatan dan pesisir Vietnam (Campa) semakin aktif melakukan ekspedisi di wilayah Jawa dan luar Nusantara. Dan abad ke -17 Jepara merupakan pusat perdagangan yang lebih penting dibandingkan Semarang.

Hasil penelitian arkeologi mengenai pelabuhan-pelabuhan kuno yang dilakukan Puslitbang Arkenas 2009, menunjukkan sisa-sisa pelabuhan tersebut masih ada. Terdapat di daerah Tedunan di Situs Kedung Malang dan Situs Karangaji. Hasil penelitian juga menemukan artefak keramik dan tembikar, bandul jala, botol kaca yang semuanya menunjukkan hal-hal yang berhubungan dengan kebaharian, khususnya komoditas  perdagangan.

Seringkali para Sejarawan menyebut abad ke-15 ini sebagai masa kurun niaga. Dimana volume perdagangan negeri Cina dengan pedagang nusantara termasuk Jawa semakin besar. Masyarakat Jawa golongan atas juga telah terbiasa dengan barang-barang mewah yang diimport seperti sutera dan porselin. Tak mengherankan, saat ini para nelayan di peraiaran Jepara hingga Karimunjawa, menemukan berbagai benda antik yang tersembunyi di dasar laut seperti gerabah, keramik dan porcelein.

Berbagai catatan dan dokumen sejarah menyebutkan, bahwa sejak abad ke-7 hingga abad ke-19 perairan Nusantara telah menjadi kuburan bagi bangkai kapal-kapal yang tenggelam. Mereka berasal dari kapal-kapal dagang Cina (dari berbagai dinasti), kapal-kapal Verenigde Oost-Indische Compagnie (VOC), Belanda, Portugis, Spanyol, Inggris, dan Jepang. Serta kapal-kapal lainnya. Bahkan dari informasi sejarawan China menyebut, dari abad X saampai XX, sekitar 30 ribu kapal China yang berlayar ke Indonesia tidak kembali.

Benda-benda kuno tersebut, diperkirakan adalah barang muatan kapal tenggelam (BMKT) yang belum terangkat.  Benda-benda itu dipastikan milik saudagar yang melakukan aktivitas pelayaran beberapa abad silam. Meskipun usianya sudah mencapai puluhan bahkan ratusan tahun, barang tersebut merupakan temuan kuno yang sangat berkualitas. Terbukti, hingga ratusan tahun benda itu masih ada yang utuh dan terlihat sangat indah.

Di perairan nusantara ada puluhan ribu titik yang diperkirakan terdapat BMKT. Namun dari puluhan ribu titik tersebut yang sudah disurvey dan diteliti baru sekitar 463 titik. Ratusan titik lokasi yang diduga terdapat harta karun dari kapal-kapal yang karam tersebut berkisar antara tahun 1508-1878. Misalnya saja tahun 1601 kapal PIE dibawah komando Pereira De Sande, dalam perjalanan dari Malaka menuju Ambon ketika hilang di bebatuan Peressada di timur laut Jawa. Kapal tersebut diperkirakan membawa emas dan perak.

Tahun 1670 STOMPNEUS, kapal VOC dengan Kapten Anthony Von Doorn, tenggelam di Japara. Tahun 1862 PIONEER, kapal Amerika yang berlayar dari Manilla ke Liverpool hilang di pulau Karimun Jawa pada tanggal 27 Desember tahun 1862 atau awal 1863 SPEED, kapal layar orang Thailand dibawah bendera Inggris berlayar dari Batavia, menabrak pulau Karimun Jawa dan tenggelam.

Dalam sebuah pameran  Arkeologi Nasional, sempat mengungkap sedikitnya ada sekitar 26 titik BMKT atau situs cagar budaya bawah laut di peraiaran Jepara, termasuk di kepulauan terjauh Karimunjawa. Beberapa barang-barang tersebut sudah ada yang berhasil diangkat oleh nelayan sebagian tersimpan rapi di Museum Kartini Jepara. Namun demikian, bupati juga mengaku, masih banyak benda benda cagar budaya bawah laut (harta karun) di beberapa titik koordinat yang belum tersentuh. Beberapa diantaranya yang telah diangkat di perairan Bandungharjo berupa 301 keping keramik yang saat ini telah digudangkan. Sedangkan sisanya dilarang Pemkab untuk diambil, termasuk di perairan Karimunjawa.

Peninggalan budaya bahari di kepulauan Karimunjawa disebabkan oleh posisi strategis kawasan tersebut yang berada di tengah jalur pelayaran perdagangan laut Jawa. Menurut sumber sejarah berita Cina, pada tahun 1292 Masehi, sebanyak dua puluh ribu armada Mongol utusan Khubilai Khan yang dipimpin oleh Shih Pi, Kau Sing dan Ike Mese diberangkatakan ke Jawa untuk menghukum Raja Kartanegara (Singosari). Armada tersebut berhenti di Biliton (Belitung) untuk menentukan strategi perang. Ike Mese bertolak lebih dulu dengan mebawa lima ratus orang dan sepuluh kapal perang, kemudian bersandar di Karimon yang saat ini dikenal (Karimunjawa).

Dipertegas lagi tulisan Priyatno Hadi S dari Balai Arkeologi Yogyakarta, peninggalan arkeologi laut di peraiaran Jepara, banyak ditemukan di wilayah Kepulauan Karimunjawa. Diantaranya, Situs Galeang (jenis kapal ikan) ditemukan sekitar 3 mil laut dengan kedalaman 34 – 48 m dpal. Situs Menyawakan (kapal dagang/cargo) ditemukan sekitar 2 mil laut dengan kedalaman sekitar 3-9 m dpal. Situs Kumbang (Kapal Dagang/Cargo) sekitar 0,5 mil laut dengan kedalaman 2 – 13 dpal.

Situs Parang  (Kapal Ikan) sekitar 1 mil laut dengan kedalaman 34 – 38 m dpal. Situs Indonor (kapal cargo) 1 mil laut dengan kedalaman 8 – 27 m dpal. Situs Genteng (kapal angkut) berada 0,5 mil laut dengan kedalaman 28 – 30 m dpal. Situs Seruni (kapal angkut) 0,5 mil laut dengan kedalaman 8 – 13 m dpal. Situs Gusung Genting (sebaran keramik Cina, berupa mangkuk cawan dan kaolin) ditemukan 0,5 mil laut dengan kedalaman 2,5 – 3  m dpal.  Selain itu juga ada laporan nelayan lokal yang belum disurvei seperti Situs Kapal Mati, Situs Gusung Ketel dan Situs Nyamuk.

Secara umum, kondisi situs tesebut  tidak utuh lagi karena banyak bagian yang sudah hilang dan sebagian lagi tertutup terumbu karang. Jika situs ini dibirakan begitu saja tanpa adanya pengawasan dan jerat hukum yang mengikat, maka tidak menutup kemungkinan situs-situs ini akan menjadi sasaran para pemburu harta karun (ilegal).

Kawasan dengan 27 pulau saat itu juga dikenal sebagai sarang bajak laut hingga tahun 1818 Michalovski melakukan pembersihan sarang bajak laut dengan kegiatan yang disebut pasifikasi kepulauan Karimunjawa.

Pada bulan Oktober 1982 Gubernur Jawa Tengah menyetujui dijadikannya kawasan Kepulauan Karimunjawa sebagai Taman Nasional Laut dan sekaligus sebagai daerah pengembangan Wisata Bahari. Oleh Menteri Kehutanan, tahun 1986 kawasan kepulauan Karimunjawa dan perairan laut sekitarnya seluas 111.625 ha dinyatakan sebagai Cagar Alam yang kemudian pada tahun 1988 berubah menjadi Taman Nasional dan 22 Februari menjadi Taman Nasional Karimunjawa.

Sebagai taman nasional pengelolaan kawasan mengacu pada UU No.5 tahun 1990 dan PP No.68 tahun 1998 dimana kegiatan konservasi dilakukan melalui kegiatan perlindungan, pengawetan dan pemanfaatan secara lestari.

Terkait hal ini, beberapa  langkah yang mungkin dapat dijadikan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan agar benda cagar budaya bawah laut yang masih tersimpan di peraiaran Jepara – Karimunjawa, dapat lestari diantaranya yaitu,

Pertama, Perburuan harta karun bawah laut, saat ini tidak hanya dilakukan oleh penyelam tradisional dan nelayan lokal dengan peralatan yang sederhana, tetapi diduga melibatkan sindikat internasional. jika terus dibiarkan tanpa adanya pengawasan dan perlindungan baik pemerintah maupun penegak hukuk, tidak menutup kemungkinan situs-situs bawah laut ini perlahan habis di ekploitasi oleh kelompok-kelompok pemburu ilegal.

Misalnya saja kasus Michael Hatcher warga kebangsaan Inggris yang dikenal sebagai raja pemburu harta karun di perairan Nusantara. Tahun 1986 berhasil menemukan BMKT Kapal dagang VOC, De Geldermalsen yang karam sekitar 1750an. Dari bangkai kapal ini, ia berhasil mengangkat 126 batang emas. Tak hanya itu, Hatcher juga berhasil mengangkat 160 ribu benda keramik antik peninggalan dinasti Ming dan Ching di peraiaran Bintan Timur Riau, senilai Rp 16,6 miliar. Terakhir, tahun 1999 dia mengangkat kapal Tek Sing di perairan Kepulauan Bangka, Sumsel, dengan nilai ekonomis Rp 500 miliar.

Kedua, tidak semua kapal dan BMKT yang berada di perairan Jepara – Karimunjawa, memiliki nilai historis bagi pelayaran masa lalu. Untuk itu perlu adanya penelitian lebih lanjut dari pemerintah, apakah situs-situs (artefak) yang berada di dasar laut tersebut, memang memiliki nilai sejarah dan benda arkeologi yang memiliki nilai tinggi. Kalaupun masih terdapat barang muatan kapal tenggelam (artefak) segera diambil dari dasar laut untuk dijadikan sumber sejarah (koleksi museum). Selain itu juga, memproyeksikan cagar alam laut kawasan ini menjadi daerah pengembangan wisata bahari.

Ketiga, meski sudah ada Undang Undang (UU)  Nomor 5 tahun 1990 dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 68 tahun 1998 yang mengatur tentang pengelolaan kawasan taman nasional di Karimunjawa, juga perlu diperkuat lagi dengan Paeraturan Daerah (Perda) yang bersifat mengikat kedalam. Artinya, sebuah peraturan yang diperuntukkan bagi para nelayan yang hendak mengambil, merusak situs-situs tersebut. Pasalnya bangkai kapal yang ada di dasar laut, memiliki nilai jual yang cukup tinggi sehingga seringkali menjadi incaran para pemburu ilegal.

Selain itu juga perlu diatur Perda yang mengatur secara spesifikasi tata cara pengangkatan bangkai kapal tersebut. Kenyataannya peninggalan bawah air lebih aman dan tidak terganggu oleh pembangunan fisik sehingga peninggalan ini tak banyak dilirik. Kelemahan inilah yang kemudian dimanfaatkan para pemburu harta karun.

Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Kajian Sejarah Universitas Negeri Semarang dan  saat ini, bekerja di Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Kabupaten Jepara.