blank
Harry Kane. Foto: dok/bayern muenchen

blankOleh: Amir Machmud NS

// siapa bertakdir juara/ siapa pula yang harus menjemputnya?/ sepak bola seutuh fisik dan keyakinan/ dan, hanya dengan sikap/ seseorang berjalan menuju impian//
(Sajak “Pilihan Harry Kane”, 2024)

KOSMOLOGI takdir tampaknya tak bisa dihindarkan dalam percaturan capaian prestasi seorang olahragawan.

Dia menyatu di antara ikhtiar pembajaan diri, kenaturalan bakat, sikap profesional, dan ketepatan lingkungan; membentuk ekosistem yang “kaffah”, baik fisik maupun spiritual.

Bayangkanlah misalnya, untuk pesepak bola sekualitas Harry Edward Kane, pensiun tanpa berkesempatan mengangkat trofi pastilah bakal menjadi sesal yang tak tertanggungkan.

Nama besar, siapa yang meragukan?

Rentetan gol bukti produktivitas, siapa yang mengingkari?

Pengaruh sebagai kapten, baik untuk Tottenham Hotspur maupun tim nasional Inggris, bukankah berkapasitas mumpuni?

Yang belum Kane sentuh hanya piala. Belum sekalipun sepanjang waktu bersama The Lilywhite dia merasakan keindahan mahkota juara. Spurs sering mengejutkan dan memorakporandakan konstelasi tim-tim “4 besar” Liga Primer, bahkan pernah melaju ke final Liga Champions 2019; namun impresivitas itu mentok menjadi realitas tim medioker yang gagal meraih gelar.

Di level internasional, paling jauh, sebagai kapten Kane mengantar timnas Inggris di urutan keempat Piala Dunia 2018, dan runnner up Euro 2021.

Maka ketika musim ini menerima pinangan Bayern Muenchen, Harry Kane dinilai memilih arah yang tepat. Dia diperkirakan bakal membawa produktivitas Die Roten mengkilas balik era Robert Lewandowski. Klub bertradisi juara di Bundesliga itu juga akan memberinya peluang sensasi membelai piala.

Laga demi laga dia lalui dengan kegembiraan mencetak gol. Bahkan hingga pekan kemarin, secara luar biasa Kane memperbarui rekor Uwe Seeler yang membukukan 30 gol pada musim pertamanya sebagai debutan Bundesliga pada 1964. Kane membendaharakan 31 gol.

Satu rekor lagi berpotensi dia pertajam, yakni milik Lewandowski yang mengukir 41 gol dalam semusim. Masih banyak sisa laga yang bisa dimanfaatkan untuk unjuk ketajaman.

Catatan subur itu pernah dia buat dengan menggelontorkan 30 gol dalam semusim bersama The Spurs.

Fenomena Takdir
Berbeda dari Lewandowski, Harry Kane bagai tertakdirkan tak berkesempatan meraih trofi-trofi mainstream. Benarkah demikian?

Keputusan hijrah ke Muenchen ketimbang menerima pinangan Manchester United adalah gambaran konsiderans bahwa peluang meraih trofi akan lebih terbuka.

Lewy memang lebih beruntung, karena bersama Bayern dan klub sebelumnya — Borussia Dortmund dan Lech Poznan — bisa membendaharakan gelar-gelar penting, bahkan ke level Eropa dan Piala Dunia Antarklub. Pada 2020, pria Polandia itu juga mendapat anugerah individial sebagai Pemain Terbaik FIFA.

Membobol gawang lawan seolah-olah sedemikian mudah bagi Lewandowski. Gol-gol dan assists yang dia bukukan bersama Barcelona sekarang menggambarkan Lewy dilahirkan sebagai “manusia gol”.

Kane pun seperti semudah dan sesimpel itu mencetak gol dari sudut-sudut peluang yang menegaskan keoportunisan. Sungguh alamiah. Dia pernah diperkirakan hanya merupakan “one season star”, namun telah membuktikan konsistensi selama bermusim-musim bersama Spurs dan Bayern sekarang.

Tampaknya dia memilih langkah tepat berada di lingkungan Bayern, sama dengan Lewy sebelum ini. Bila saatnya tiba untuk merasakan predikat juara, maka saat itu akan mengakhiri penantian panjang yang bagai tak berujung.

Menjemput Takdir
Saya memercayai takdir sebagai pengiring kehidupan manusia, kosmologi spiritualitas yang kadang tak terbaca tetapi diyakini kebenarannya.

Bukankah kita ingat, Lionel Messi bagai menjemput takdir ketika meraih Piala Dunia di Qatar pada 2022? Justru di saat usianya sudah bergulir ke senjakala, dan ketika dianggap bakal tak kuasa bersaing di antara kesegaran para rival muda.

Dalam perspektif yang berbeda, dalam usia 31, Harry Kane hadir untuk menjemput dan merayakan takdirnya di Bundesliga. Di Liga Primer boleh gagal, namun dia punya berkemungkinan panggilan kesukseaan di Liga Jerman.

Kalaupun musim ini langkah Bayern terhalang oleh impresivitas Bayer Leverkusen di bawah pelatih muda Xabi Alonso (sementara ini meraih poin 60 dibanding 70 dari 26 laga), saya berkeyakinan dia punya peluang lebih kuat untuk meraih puncak di Bundesliga ketimbang impian tanpa ujung di Liga Primer.

Simaklah kata Danny Murphy, pundit Match of the Day pada awal kemonceran Kane di London, pada dekade silam. “Saya merasa kesulitan untuk melihat kelemahan permainan anak itu…”

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah