Oleh Marjono
INDONESIA itu supermarket bencana. Secara geografis, geologis dan topografis, Jawa Tengah termasuk daerah yang rawan terhadap berbagai bencana alam, antara lain angin puting beliung, kekeringan, banjir, gempa bumi, tanah longsor, tsunami, erupsi gunung berapi (Merapi, Slamet, Dieng, dll).
Selain korban jiwa, bencana alam juga menyebabkan kerugian material serta harta benda seperti ternak, sawah, ladang, rumah, tempat ibadah, lembaga pendiidkan, perbankan, dsb. Bahkan, bencana alam juga menjadi salah satu faktor penyebab kemiskinan.
Pemetaan risiko bencana merupakan dasar dalam membuat suatu perencanaan pengelolaan bencana yang kemudian akan dihasilkannya suatu rekomendasi yang tepat. Dalam pelaksanaan pemetaan risiko bencana perlu adanya kolaborasi antar stakeholders untuk melakukan identifikasi data dan informasi serta mengumpulkan masukan-masukan dari masing-masing stakeholders. Kolaborasi antar stakeholders akan lebih terasa penting ketika melakukan pemetaan risiko bencana dengan perspektif
Selama ini, penanganan bencana alam banyak terfokus pada respon darurat. Gerakan Tanggap Bencana, ada yang dikoordinasi oleh masyarakat maupun lembaga nonpemerintah (NGO) lebih didominasi pada penanggulangan untuk pemenuhan kebutuhan jangka pendek, padahal yang sangat diperlukan saat terjadi bencana, lebih dari itu. Kita butuh kesiagaan dalam menghadapi bencana yang datang begitu saja datang tanpa diundang.
Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) telah melaksanakan beberapa kali menggelar operasi Teknologi Modifikasi Cuaca (TMC) untuk mencegah cuaca ekstrem serta tingginya curah hujan. Seperti di Laut Jawa, Samudera Hindia, Waduk Wadaslintang maupun Selat Sunda. Baru-baru ini pun TMC sedikitnya bisa membantu beberapa area terdampak bencana. Untuk itu, Pj Gubernur Jateng minta TMC diperpanjang di wilayahnya.
Dalam sebuah Rakor Penanggulangan Bencana Banjir, Kepala BMKG, Dwikorita mengatakan, TMC itu sederhana, yaitu garam ditabur di atas Laut Jawa, sehingga awan-awan dipaksa menurunkan hujannya sebelum memasuki wilayah Jawa Tengah. harapannya dapat mengurangi intensitas hujan yang tadinya lebat menjadi sedang, dan sedang menjadi ringan.”
Melalui TMC ini memberikan ekspektasi untuk menambah intensitas curah hujan (rain enhancement), mengurangi intensitas curah hujan (Rain Reduction), dan penipisan kabut asap kebakaran hutan dan lahan (fire suppression).
Kita sekarang bisa memodifikasi cuaca ini adalah usaha campur tangan manusia dalam mengendalikan sumber daya air di atmosfer dengan memanfaatkan parameter cuaca. Dalam konteks pemanasan global yang mengakibatkan terjadinya perubahan iklim, metode ini menjadi salah satu solusi yang bisa diandalkan. Harapannya, terutama untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan oleh bencana yang disebabkan karena faktor iklim dan cuaca.
Menurut prediksi BMKG hujan lebat dan gelombang tinggi masih akan melanda negeri ini dengan spot-spot daerah tertentu. Selain menjadi salah satu langkah untuk mengurangi penyebab banjir, TMC dapat kita manfaatkan, seperti pengelolaan sumber daya air, pengisian waduk untuk kebutuhan PLTA/Irigasi, mitigasi bencana hidrometeorologi, bencana kekeringan, bencana kabut asap kebakaran hutan dan lahan, bencana banjir dan tanah longsor
Bahkan yang hebat, menurut informasi, operasi TMC berhasil diaplikasikan untuk mendukung kelancaran penyelenggaraan event-event khusus, misalnya SEA Games XXVI Palembang 2011, kemudian dilakukan untuk penanggulangan banjir Jakarta tahun 2013, 2014, dan 2020, Moto GP Mandalika 2022, hingga yang terakhir KTT G-20 tahun 2022, maupun untuk agenda Kenegaraan lain.
Maka kemudian, kita layak mengapresiasi kerja-kerja seluruh masyarakat dan pemerintah, provinsi/Kabupaten/Kota hingga desa bersama BMKG, BNPB, BRIN dan TNI AU menyediakan armada pesawat sehingga operasi TMC ini bisa dilakukan di beberapa wilayah. Pada sesi ini, beberapa hal dapat kita tempuh, seperti menyebarkan informasi kepada masyarakat dengan baik dan bijak; menyiagakan relawan PRB dkk, menyiagakan mereka di area rawan bencana dan mulai kerja dari peringatan dini.
Langkah lainnya, yaitu memvideokan dan menyebarkan dengan konten-konten yang kreatif agar lebih tepat sasaran; memastikan peralatan dalam kondisi baik dan siaga, termasuk termasuk logistik. Penting pula dilakukan yakni melalui ilmu titen sebagai bentuk kearifan lokal masyarakat terhadap bencana agar terus diperhatikan untuk membantu membaca fenomena alam.
Harapannya kemudian, kerja-kerja keroyokan, gotong royong yang baik ini bermanfaat bagi masyarakat, termasuk dalam mengatasi cuaca ekstrem ini. Pemerintah (pusat dan daerah) tak bisa sendirian, sehingga perlu dilakukan sinkronisasi agar tidak ada tumpang tindih kegiatan. Kolaborasi dan sinergi menjadi panasea (obat mujarab) dalam mengatasi setiap problematik yang muncul. Semangat inilah yang harus kita bangun.
Tetap ingat lan waspada, ingat kepada Tuhan YME, dan waspada terhadap bencana yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Oleh karena itu, seluruh masyarakat dituntut selalu siap menghadapi hadirnya bencana.
Marjono, Kepala UPPD/Samsat Kabupaten Tegal, Provinsi Jawa Tengah