blank
Ilustrasi anak dibawah umur mengendarai sepeda motor. Foto: Dok/Pixabay

SEMARANG (SUARABARU.ID) – Guna menekan aksi kebut-kebutan dan pelanggaran lalu lintas (Lalin) yang dilakukan pengendara anak di bawah umur, Polda Jateng menggalakkan kegiatan sosialisasi di lingkungan sekolah.

Kegiatan yang dikemas dalam program Police Goes To School ini menjadi salah satu andalan Polda Jateng untuk mengedukasi kalangan remaja dan anak-anak di tingkat SD hingga SMA.

“Pelajar atau kalangan di bawah umur diberi edukasi agar mereka paham tentang keselamatan berlalu lintas,” kata Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Satake Bayu Setianto, Jumat (8/3/2024).

Para pengendara belia, ungkapnya, sering terjaring razia karena melakukan pelanggaran seperti berboncengan tiga, menggunakan ranmor yang tidak sesuai spesifikasi hingga aksi kebut-kebutan dan balap liar.

“Mereka perlu pemahaman tentang aspek keselamatan. Bila melakukan aksi kebut-kebutan dapat membahayakan diri dan orang lain,” terangnya.

“Berkendara itu perlu etika. Ada sanksi hukum buat mereka yang melanggar, apalagi kalau sampai terlibat kecelakaan sehingga merugikan orang lain,” imbuh Satake.

Sementara pakar psikologi Universitas Diponegoro, Dr. Hastaning Sakti, M.Kes, mendukung upaya Polri dalam memberikan pemahaman tentang keselamatan berlalu lintas pada remaja, termasuk anak-anak di bawah umur.

Menurutnya, anak-anak perlu paham tentang tanggung jawab sosial dan konsekwensinya bila melakukan pelanggaran lalu lintas. Dirinya merasa amat prihatin terhadap anak-anak yang melakukan aksi kebut-kebutan di jalan raya.

“Bisa saja awalnya mereka diberi kelonggaran oleh orang tua. Tapi ujung-ujungnya malah ngebut di jalan,” kata Hastaning.

Dilihat dari sisi psikologis, anak-anak dibawah umur cenderung merasa dirinya adalah “raja” dan bisa melakukan banyak hal. Kalangan ini cenderung berpikiran pendek dan emosi yang kurang matang. Hal ini dipengaruhi oleh amigdala yang mereka miliki.

Amigdala merupakan bagian dalam anatomi otak yang berhubungan dengan proses emosi, perilaku, dan memori. “Bila mendengar suara motor yang kencang di belakang mereka, maka mereka akan memacu kendaraan (supaya tidak tersusul),” jelas pakar psikoneuroimunologi dan psikologi transpersonal ini.

Menurutnya, kalangan ini cenderung belum merasa nyaman saat beradu pandang dengan orang lain. “Sapaan dari orang lain yang melintas naik motor, bagi remaja kalangan ini dapat dianggap sebagai sebuah tantangan,” paparnya

Hastaning mendukung upaya-upaya Polri untuk memberikan pemahaman pada remaja dan anak di bawah umur tentang lalu lintas.

“Perlu sesekali ada upaya untuk efek jera. Perlu warning (peringatan). Orang tua juga harus ikut memberikan pemahaman bahwa mengendarai kendaraan di jalan raya itu butuh tanggung jawab dan ada konsekuensinya,” tandasnya.

Ning S