TEMANGGUNG (SUARABARU.ID)- Menjelang datangnya bulan suci Ramadan, masyarakat Desa Soropadan, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggungmenggelar tradisi nyadran. Tradisi nyadran tersebut digelar di pemakaman Suroloyo atau Sepujud, Desa Kupen, Kecamatan Pringsurat, Kabupaten Temanggung Jumat (1/3/2024).
Seperti tradisi nyadran di tempat lainnya, masing-masing kepala keluarga membawa makanan yang untuk dibawa ke komplek makam tersebut. Tetapi, makanan yang dibawa tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam tas plastik, melainkan harus dimasukkan ke dalam keranjang anyaman bambu atau besek ( tempat makanan berbentuk persegi empat dan terbuat dari anyaman bambu).
“ Makanan tersebut tidak boleh dimasukkan ke dalam tas plastic, melainkan dimasukkan ke dalam keranjang bambu atau besek. Hal ini dilakukan sebagai salah satu kampanye pengurangan penggunaan plastik,”kata Ketua Panitia Nyadran, Agus Sarwono.
Agus mengatakan, kompleks pemakaman Suroloyo yang dijadikan tempat untuk nyadran tersebut , terdapat makam Kiai dan Nyi Honggo Potro yang dipercaya sebagai cikal bakal masyarakat Desa Soropadan. Kiai Honggopotro tersebut juga salah satu pengikut Pangeran Diponegoro saat melawan penjajah Belanda.
Menurutnya, tradisi nyadran di pemakaman Suroloyo tersebut dilakukan setiap hari Jumat dan bertepatan dengan hari Pahing (penanggalan Jawa, red) di bulan Syaban.
Agus menambahkan, para tradisi nyadran tidak hanya dihadiri masyarakat Desa Soropadan saja. Melainkan juga mereka yang berasal dari berbagai kota dan mempunyai keluarga di Soropada juga menyempatkan untuk hadir.
“Selain undangan, pada tradisi nyadran ini juga banyak pula yang datan dari luar kota untuk menyempatkan hadir. Sekalian untuk bersilaturahmi ke keluarganya menjelang bulan puasa,” katanya.
Salah satu warga Soropadan, Wina mengatakan, tradisi nyadran tetap dilestarikan bertujuan mendoakan arwah para leluhur dan menjadi salah satu warisan bagi anak cucu. Tidak hanya itu, tradisi nyadran juga sebagai salah satu upaya mempererat kerukunan warga.
“Acara nyadran ini juga sebagai sarana nguri-uri (melestarikan) budaya yang ada. Sekaligus mempererat tali kekeluargaan antarwarga,” ujarnya.
Pada tradisi nyadran tersebut tidak mengenal acara ‘kembul bujono’ atau makan bersama di lokasi nyadran. Melainkan, makanan yang dimasukkan ke dalam keranjang tersebut, setelah doa bersama selesai lalu dibawa pulang. W. Cahyono