blank
Foto bersama dalam sidang yudisium Fakultas Teologi UKSW, Foto: Dok/UKSW

Secara teologis, agama digital adalah cara baru untuk menghadirkan kerajaan Allah melampaui ruang dan waktu dalam masyarakat yang berjejaring. Secara sosiologis, agama digital tidak hanya merepresentasikan sebuah entitas keagamaan secara online tetapi juga budaya baru dalam perangkat sosial.

“Dunia digital telah menjadi bagian dari kehidupan keseharian manusia dan membutuhkan revitalisasi religiusitas dan spiritualitas manusia agar sesuai dengan perkembangan zaman,” terang Profesor Sekolah Tinggi Teologi (STT) Baptis Indonesia ini.

Tak hanya lulus dengan predikat terpuji dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3.96, Prof. Ps. Sonny Zaluchu juga menerima tiga penghargaan sekaligus dari Lembaga Prestasi Indonesia Dunia (LEPRID). Ketua Umum dan Pendiri LEPRID Paulus Pangka, S.H., menyerahkan secara langsung penghargaan tersebut.

Tiga penghargaan tersebut yaitu Guru Besar Ilmu Teologi pertama yang diangkat dalam lingkup Sekolah Tinggi Teologi Kristen Se-Indonesia Direktur Jenderal Dinas Kristen Kementerian Agama Republik Indonesia. Sementara, dua penghargaan lainnya yaitu Insan Indonesia di Pulau Terluar Pertama yang Menjadi Guru Besar dalam Ilmu Teologi, dan Guru Besar Profesor Pertama di Kalangan Sekolah Tinggi Teologi Se-Indonesia dan UKSW yang diyudisium Sebagai Doktor.

Bertepatan hari spesial

Sementara itu, lulus dengan IPK 4.00, Pdt. Hendrika Yovania Karubaba memaparkan disertasi berjudul “Tamne Yisan Kafase Sebagai Upaya Pendekatan Pendampingan dan Konseling Masyarakat untuk Memberdayakan Perempuan Korban Ketidakadilan Gender di Distrik Arso Kabupaten Keerom-Papua”.

Hasil penelitian wanita asal Jayapura ini mengemukakan bahwa perempuan dan laki-laki perlu membangun sinergitas dan kemitraan sejati untuk mengatasi persoalan ketidakadilan gender melalui nilai-nilai kearifan lokal Tamne Yisan Kafase yang berarti bersatu untuk membangun.

Nilai Budaya Tamne Yisan Kafase dilakukan sebagai upaya pendekatan pendampingan dan konseling masyarakat yang dapat memberdayakan perempuan sebagai korban ketidakadilan gender. Delapan teknik pendekatan tersebut yaitu bersatu atau bergotong royong, solidaritas atau keseimbangan, saling berbagi dan menerima, persahabatan atau pertemanan, menguatkan atau mengutuhkan, menyembuhkan, damai, memberdayakan dan masing-masing memiliki tujuan pendampingan dan konseling serta sasaran pencapaian.