Ilustrasi. Gunung Sindoro dan petani tembakau. Foto: wied
Petuah Sadranan Gunung
: Gunung  Sindoro
Didekap kecemasan,
berselimut raut Gunung Sindoro
terasa selaksa  menyampaikan  hangatnya
selemparan  harap  mendekat  kepada  Tuhan
semua  doa  agar  terhindar  dari  bala,
menjemput  nikmat  alam  bersahaja
Adakah  manusia  ingin bersembunyi ?
Adakah  manusia ingin  berlari ?
Ibarat  manusia  dalam  tenong,
tetap  menjaga  keseimbangan  ini,
ungkapan  rukun  manusia dan  alam
Pada  puing doa sadranan gunung
terdengar  gending bertalu,
pergumulan  menjaga alam
itikad  ketentraman  bersama
di biliknya manusia merangkai…
sajian  ingkung
sajian  nasi megono
pun  tercium  samar  aroma dupa
kadang  menyengat…
Terus memeluk  petuah  gemilang,
terikat tangan  manusia  menjaga  lestari
Sejauh  melempar  doa  membentang,
pada ujung  dinding  gunung  terus  memandang
Menyeka  cemas  aral  melintang…
pinta  senyum  alam,  meski  bersama  gemuruh  kencang
Walau  kadang  hangat  Sindoro  menyapa,
begitulah  kelangsungan  doa  manusia
meleburkan  nadi  bijak diorama
berembuk  nyata  alam  dan  manusia
Adalah  sadranan  gunung
bersinar penuh  kekuatan
bersama  panah  harapan,  menembus  cakrawala
meruapkan  sepuh  gelap hangatnya  Gunung  Sindoro
-2021
Wiwit  Mbako  Merti  Bhumi Phala
Kala  memulai  tanam  tembakau
saat  para  petani   bertemu
bersatu  mengepung  alun-alun
‘di bawah  doa  yang  sama’  kata  mereka
Lewat  tumpeng  dan  ingkung,
yang  tersaji  menjadi  saksi
Pada daun  kretek  mereka  meneguhkan,
‘kita  berdiri  sama tinggi  duduk  sama  rendah’
Arak-arakan  simbol
harapan  petani  untuk  keberkahan
memulai  tanpa  kesulitan
berharap  panen  bisa  melimpah
Berakhir  dengan  kembul  bujana
meluruskan  petani  pada  ‘jalur’  benar
ungkapan  syukur…
menjalani  lebih  jujur….
tanpa  harus  saling  potong
melakoni  lebih  bersih….
tidak  saling  merugikan
Meski  saat  ini  tak  lagi  ‘wangi’,
dibalik  rajangan  tembakau
masih  ada  ranum  permohonan…
masih ada  peluk  pengharapan…
lekang  selalu  suluhkan  nurani
mengharap  tembakau   hitam  mengkilap
melukiskan  irama  percaya  petani
tanpa ragu…
marem….puas
tentrem….damai
gandem….baik
-2021
SULTAN  MUSA  berasal  dari  Samarinda  Kalimantan Timur.  Tulisannya  tersiar  di berbagai  platform  media  daring  &  luring.  Serta  karya  –  karyanya  masuk  dalam  beberapa  Antologi  bersama  penyair  Nasional  &  Internasional. Seperti Antologi Puisi Penyair Dunia Wangian Kembang : Antologi Puisi Sempena Konvesyen Penyair Dunia – KONPENyang di gagas Persatuan Penyair Malaysia (2018), Antologi Puisi “Negeri Serumpun” Khas Sempena Pertemuan Dunia Melayu GAPENA & MBMKB (2020), “La Antologia De Poesia Cultural ArgentinaIndonesia“ Antologi Puisi Budaya Argentina – Indonesia (2021). Antologi Puisi “Cakerawala  Islam” MAIK – Majlis Agama Islam dan Adat Istiadat Melayu Kelantan –Malaysia (2022), Festival Sastra Internasional Gunung Bintan – Jazirah ( 2019,2020,2021,2022,2023), Temu Karya Serumpun “Tanah Tenggara” Asia Tenggara (2023) dan HOMAGI – International Literary Magazine. Tercatat  pula  di buku  “Apa  &  Siapa  Penyair  Indonesia  –  Yayasan  Hari  Puisi  Indonesia”  Jakarta  2017. Adapun  IG  :  @sultanmusa97