blank
Lestari Moerdijat saat membuka diskusi secara daring, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/1/2024). Foto: fn

SEMARANG (SUARABARU.ID)– Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat mengatakan, guna mewujudkan pemenuhan gizi anak bangsa, dibutuhkan gerak bersama-sama dengan perencanaan yang matang, dalam upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia di masa datang.

”Anak usia di bawah lima tahun yang mengalami kekurangan gizi di Indonesia, masih cukup tinggi. Padahal UU Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan menegaskan, kesehatan warga negara merupakan hak asasi manusia, dan salah satu unsur kesejahteraan yang harus diwujudkan,” kata Lestari, saat membuka diskusi daring bertema ‘Dampak Gizi Buruk Terhadap Kecerdasan Anak Indonesia’, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (24/1/2024).

Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Prof Dr Tjandra Yoga Aditama (Direktur Pasca Sarjana Universitas YARSI-Direktur WHO SEARO/World Health Organization South East Asia Regional Office 2018-2020).

BACA JUGA: Tingkatkan Kesehatan Balita, Bersama Kader Kesehatan Desa Bermi dan KKN UNISNU Adakan Posyandu

Ada juga dr Rivani Noor MKM (Administrator Kesehatan Ahli Muda pada Tim Kerja Kesehatan Balita dan Anak Pra Sekolah, Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak, Kementerian Kesehatan RI), sebagai narasumber. Hadir pula Velofa Theresia Sihombing (CFO 1.000 Days Fund) serta Indrastuti (Wartawan Media Indonesia Bidang Kesehatan) sebagai penanggap.

Menurut Lestari, stunting sebagai persoalan kesehatan ibu dan gizi anak, merupakan permasalahan yang kompleks. Hal ini berkaitan dengan kemiskinan ekstrem, yang mesti dicegah secara bersama-sama.

Rerie, sapaan akrab Lestari mengungkapkan, pada 2045 untuk menyambut Indonesia Emas merupakan waktu yang singkat, untuk menciptakan generasi unggul seperti yang dicita-citakan.

BACA JUGA: Perkuat Sinergitas, Bidhumas Polda Jateng Melakukan Kunjungan di Kantor Suarabaru 

Komitmen Indonesia sesuai agenda PBB, terkait tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) kedua, yaitu zero hunger, tambah dia, menekan angka prevalensi stunting, hingga mencapai angka 14 persen, pada tahun 2024.

Diakui Rerie, yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, penurunan angka prevalensi stunting sangat dipengaruhi penurunan angka kemiskinan ekstrem, yang ditargetkan mencapai 0 persen pada 2024.

Sejak 2018, tambah Rerie, pemerintah telah menetapkan Strategi Nasional Percepatan Pencegahan Stunting 2018-2024 melalui Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Sekretariat Wakil Presiden Republik Indonesia.

BACA JUGA: Polresta Magelang Berupaya Meningkatkan Kemampuan Personel

Penyelesaian stunting, tegas anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu, kini berhadapan dengan realita belum tuntasnya penyelesaian masalah kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.

Rerie menegaskan, kerja bersama secara terukur untuk menyelesaikan ragam masalah sosial yang dihadapi masyarakat, harus segera dilakukan dalam upaya mewujudkan generasi penerus bangsa yang berdaya saing di masa depan.

Sementara itu, Tjandra Yoga Aditama mengungkapkan, gangguan gizi itu bukan hanya stunting, tetapi juga wasting (gizi kurang atau gizi buruk, yaitu proporsi berat badan anak terhadap tinggi badannya sangat kurang), dan overweight (kelebihan berat badan).

BACA JUGA: Azarine Luncurkan Sunscreen Praktis Anti-Ribet

Stunting, menurut Tjandra, ditunjukkan dengan tinggi dan berat badan balita yang tidak sesuai, dan berlangsung berkepanjangan. Sehingga aspek yang mempengaruhi terjadinya stunting, juga terkait dengan kondisi sosial ekonomi bangsa, dalam memenuhi kebutuhan gizi dan kesehatan masyarakat yang lebih baik.

”Stunting bisa membuat anak tidak bisa mencapai potensi diri yang seharusnya dimiliki. Sehingga dampaknya dirasakan sepanjang hidupnya, dan menjadi masalah yang tidak sederhana,” sebut dia.

Sedangkan Rivani Noor mengungkapkan, angka stunting di Indonesia juga cenderung turun. Pada 2021, tercatat prevalensi stunting di Indonesia mencapai 24,4 persen, dan pada 2022 prevalensi stunting menjadi 21,6 persen.

BACA JUGA: Wujudkan Generasi Sehat, Posyandu Kalen Blora Rutin Kontrol Kesehatan Balita dan Ibu Hamil

Dia berharap, target prevalensi stunting yang ditetapkan pemerintah pada tahun ini dapat tercapai. Sejumlah upaya intervensi harus dilakukan, untuk mencegah dan mengatasi stunting. Antara lain dengan skrining anemia, konsumsi tablet tambah darah bagi calon ibu.

”Selain itu, sejumlah asupan bergizi pada 1.000 hari pertama usia bayi, pemberian ASI eksklusif, dan keragaman makanan pengganti ASI, harus konsisten diberikan,”
tukas Rivani.

Riyan