blank
Persiapan latihan tenaga dalam tahun 1991. Foto: Dok Masruri

blank

PERKEMBANGAN tenaga dalam Indonesia tidak diimbangi kepedulian menelusuri  siapa tokoh yang menciptakan dan mengembangkannya. Bahkan ada yang menyembunyikan sejarah perguruannya.

Tenaga dalam versi Indonesia identik ilmu menghalau lawan dalam keadaan amarah (emosi) dari jarak jauh dan tanpa menyentuh. Bela diri ini digali melalui olah napas, jurus dan pengejangan pada dada atau perut, disertai ajaran spiritual.

Perkembangan sejarah tenaga dalam di Indonesia diwarnai empat tokoh penting. Yaitu, Muhammad Toha pendiri Sin Lam Ba,  Andadinata, pendiri Margaluyu, H Abdul Rasyid pendiri Budi Suci  dan Nampon pendiri Tri Rasa. Pada abad 19 tenaga dalam sudah dipelajari, dan mulai terbuka tahun 1932.

Itu berawal saat Nampon histeris di depan stasiun Padalarang. Saking   girangnya menyambut kelahiran anak pertamanya, dia berteriak-teriak Karena dianggap gila, dia akan diringkus warga. Namun yang mendekatinya terpental dan berjatuhan.

Nampon lahir di Ciamis tahun 1888 dan wafat tahun 1962. Dia pegawai di jawatan kereta api pada zaman Belanda. Namun dia dipecat dan sering masuk bui karena sikapnya yang anti penjajah Belanda.

Murid Nampon yang ikut mengembangkan tenaga dalam, adalah Setia Muchlis dan KM Tamim yang kemudian mendirikan perguruan TRI RASA yang banyak diikuti Mahasiswa di Bandung, di antaranya Bung Karno dan M Natsir.

Dari Nampon.

Menurut para sesepuh, sebelum mengenalkan “jurus tenaga dalam“ Nampon belajar dari pendekar Abah Khoir, pencipta silat Cimande, dan para pendekar Batavia, yaitu Bang Madi, Kari, Ma’ruf dan H Qosim, pendekar yang diasingkan karena mengajarkan silat di luar kerajaan Pagar Ruyung, Padang.

Ketika perguruan tenaga dalam berkembang, ada pertanyaan, dari mana asal tenaga dalam dan siapa yang menciptakan? Sidik, murid H Abdul Rosyid, pendiri Budi Suci, mengatakan, jurus tenaga dalamnya diwarnai Abah Khoir dan Nampon.

Begitu juga aliran yang berkembang di Jawa Tengah, yaitu Ragajati di Banyumas, JSP (Jurus Seni Penyadar) Tegal dan Semarang. Menurut Yosis Siswoyo, Guru Bandar Karima, tenaga dalam di Jawa Barat berkembang pada masa Nampon setelah bebas dari penjara Digul.

Bukan hanya Yosis dan Nampon yang mengembangkan tenaga. Pada saat bersamaan, di Batavia (Jakarta) ada Sin Lam Ba dan Al-Hikmah, dan pada tahun yang sama, di Ranca Engkek Bandung, Andadinata mengenalkan tenaga dalam hasil pemikirannya.

Aliran Andadinata bernama Marga Rahayu, dan berubah menjadi Margaluyu, dikenalkan tahun 1932. Anandinata punya murid, Dan Suwaryana, dosen ASRI dan wartawan Yogyakarta. Dari Dan Suwaryana menjadi 17 perguruan di Yogyakarta.

Di antaranya, Prana Sakti, Prana Sakti Indonesia, Prana Sakti Jayakarta, Satria Nusantara, Pendawa Padma, Radiasi Tenaga Dalam, Kalimasada, Bunga Islam, Al-Barokah, Indonesia Perkasa, Sinar Putih, Al-Barokah, Al-Ikhlas, dll.

Para Wali

Keilmuan Margaluyu dari para Wali  tanah Jawa,  Syekh Datuk Kahfi,  Prabu Kian Santang atau P.Cakrabuana, setelah masuk Islam dikenal sebagai Sunan Rahmad Suci Godong Garut, ke Sunan Gunung Jati, lelu ke Anandinata.

Tentang sejarah tenaga dalam, siapa yang pertama menciptakannya, belum diketahui. Para pinesepuh tidak memiliki refrensi itu. Menurut Sidik  Budi Suci, murid H Abdul Rosyid, ada tiga tokoh yang disebut dalam  tawasul,  yaitu Madi, Kari dan Syahbandar (Subandari), nama aslinya H Qosim.

Nama Madi, Kari dan Syahbandar, keilmuannya lebih ke fisik. Pada catatan “tempo doeloe” Madi dan Kari belum mengenal  tenaga dalam pukulan jarak jauh. Ketiganya pendekar silat. Madi dikenal sebagai penjinak kuda binal dari Eropa.

Dalam dunia persilatan Madi dikenal ahli mematah siku lawan dengan jurus giles, Kari  pendekar  Tangerang dan menguasai jurus Kung Fu dan  teknik jatuhan. Pada era Syahbandar, Kari dan Madi, banyak pendekar dari berbagai aliran berkumpul.

Batavia menjadi pusat barter ilmu beladiri dari berbagai aliran, mulai  silat Padang, Betawi, Kung Fu ala Bang Kari dan Cimande oleh Abah Khoir. Budi Suci keilmuannya dari Khoir dan Nampon, dan mereka tidak mengklaim tenaga dalam bersumber dari Nampon. Begitu juga yang dari Margaluyu.

Budi Suci menganalisa, bukan Nampon yang menciptakan, karena dalam ritual (wirid), nama yang disebut itu Madi, Kari dan Syahbandar (Subandari). Menunjukkan, inspirasi keilmuan dari tokoh sebelum Nampon, walau nampon yang merangkum dan menyempurnakan.

Namun simpulan itu diragukan, karena pada masa pendekar Madi, Kari, Sahbandar, tenaga dalam belum dikenal. Terbukti, Khoir guru dari Nampon, saat duel dengan pendekar Kung Fu, dia menggunakan selendang untuk mengikat lawan di pohon pinang.

Jika tenaga dalam sudah ada, kenapa pakai selendang? Kenapa tidak pakai “jurus tendet” (kunci) agar pendekar Kung Fu  itu tidak mampu bergerak. Pemanfaatan tenaga dalam tercatat  pada era Nampon, tahun 1930-an.

Ketika Nampon “histeris” saat menyambut kelahiran anaknya di depan stasiun Padalarang  dan pertarungan Nampon dengan Jawara Banten, saat melayani duel dengan KM Thamim yang setelah kalah lalu berguru kepadanya. (Bersambung).