blank

JEPARA (SUARABARU.ID) – Koalisi Serius untuk Revisi UU ITE yang berisi 28 organisasi masyarakat sipil se-Indonesia melihat kasus yang menjerat empat orang aktivis lingkungan Karimunjawa sebagai bentuk kriminalisasi untuk membungkam warga yang aktif menyuarakan keresahannya atas ancaman terhadap sumber penghidupan dan kerusakan lingkungan mereka.
Daniel Frits Tangkilisan menjadi martir pertama. Ia dilaporkan usai berkomentar di Facebook dengan menggunakan frasa “masyarakat otak udang”. Pada 1 Juni 2023, Daniel ditetapkan sebagai tersangka oleh Kepolisian Resor (Polres) Jepara karena dianggap melanggar pasal ujaran kebencian dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Bahkan, ia sempat ditahan selama kurang lebih 20 jam pada 7 Desember 2023, meskipun kemudian penahanannya ditangguhkan
Setelah Daniel, pada 28 November 2023 lalu, tiga orang rekannya sesama aktivis #SaveKarimunjawa juga dilaporkan ke polisi. Hasanuddin, Datang Abdul Rochim dan Sumarto Rofi’un telah dilaporkan ke Kepolisian Daerah Jawa Tengah. Sebelumnya, mereka mengunggah video penolakan atas keberadaan tambak udang intensif ilegal di Pulau Karimunjawa.
Ketiganya dituduh melakukan tindak pidana pencemaran nama baik dan/atau ujaran kebencian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat 3 dan/atau Pasal 28 ayat 2 UU ITE dengan ancaman maksimal 6 tahun penjara.
Aktivis lingkungan hidup yang bergabung dalam gerakan #savekarimunjawa terus menyuarakan perjuangannya agar tambak ilegal tersebut ditutup sejak 2 tahun terakhir. Alih-alih mendapatkan jawaban atas persoalannya, warga yang vokal menolak tambak udang intensif ilegal untuk menyelamatkan lingkungan dan perekonomian justru mengalami kriminalisasi.
Seruan bersama Koalisi Serius untuk Revisi UU ITE tertanggal 17 Januari 2024 tersebut diterima SUARABARU.ID, Kamis (18/1-2024). Koalisi Serius untuk Revisi UU ITE ini terdiri dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Amnesty International Indonesia, Indonesia Corruption Watch (ICW), Indonesia Judicial Research Society (IJRS), Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Imparsial, Koalisi Perempuan Indonesia, Komite Perlindungan Jurnalis dan Kebebasan Berekspresi (KPJKB) Makassar, Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, LBH Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Jakarta, LBH Jakarta,LBH Masyarakat, LBH Pers Jakarta, Lembaga Kajian dan Advokasi Independensi Peradilan (LeIP).
Juga ada Lembaga Studi & Advokasi Masyarakat (ELSAM), Lintas Feminist Jakarta (Jakarta Feminist), Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), Perhimpunan Bantuan Hukum & Hak Asasi Manusia (PBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Pusat Kajian dan Advokasi Perlindungan dan Kualitas Hidup Anak Universitas Indonesia (PUSKAPA UI), Remotivi, Rumah Cemara, Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) Yayasan LBH Indonesia (YLBHI),Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan Masyarakat Indonesia (YAPPIKA) , Yayasan Perlindungan Insani (Protection International).
“Ada hal yang lebih besar dari sekedar kriminalisasi terhadap empat pejuang lingkungan. Upaya pemidanaan ini berdampak pada moral warga yang menolak tambah udang intensif ilegal di wilayahnya demi memperoleh haknya atas lingkungan yang bersih dan sehat. Beberapa waktu lalu, Fatia-Haris dibebaskan dari segala tuduhan pencemaran nama. Alasan pemidanaannya sama, yaitu mengekspresikan keresahan atas isu lingkungan. Putusan hakim ini harusnya menjadi acuan bagi penyidik untuk menghentikan segala upaya kriminalisasi menggunakan pasal-pasal karet UU ITE” ujar Nenden Sekar Arum, Direktur Eksekutif SAFEnet, salah satu organisasi yang tergabung dalam Koalisi Serius untuk Revisi UU ITE.
Dalam seruan bersama tersebut juga ditegaskan, materi-materi yang diunggah keempat aktivis itu merupakan bagian dari kebebasan berekspresi yang dijamin konstitusi dan instrumen hak asasi manusia internasional. Proses hukum yang mereka jalani juga bertentangan dengan Surat Keputusan Bersama 3 Lembaga tentang Pedoman Implementasi UU ITE. SKB yang juga ditandatangani oleh Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri) itu dengan gamblang membatasi penggunaan Pasal 28 ayat 2 yang dijadikan dasar hukum pelaporan ujaran kebencian:
“Penyampaian pendapat, pernyataan tidak setuju atau tidak suka kepada individu atau kelompok masyarakat tidak termasuk perbuatan yang dilarang, kecuali dapat dibuktikan ada upaya melakukan ajakan, mempengaruhi, dan/atau menggerakkan masyarakat, menghasut/mengadu domba untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan berdasarkan isu sentimen perbedaan SARA.”
SKB 3 Lembaga juga mengharuskan Aparat Penegak Hukum (APH) untuk membuktikan motif membangkitkan yang ditandai dengan adanya konten untuk melakukan tindakan-tindakan di atas.
Begitu pula dengan Pasal 27 ayat 3 yang dijadikan dasar pelaporan. SKB 3 Lembaga membatasi penggunaan pasal ini:
“Bukan delik yang berkaitan dengan muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik dalam Pasal 27 ayat (3) UU ITE, jika muatan atau konten yang ditransmisikan, didistribusikan, dan/atau dibuat dapat diaksesnya tersebut adalah berupa penilaian, pendapat, hasil evaluasi atau sebuah kenyataan.”
Materi yang diunggah keempat aktivis #SaveKarimunjawa jelas merupakan ekspresi penilaian dan keresahan atas persoalan nyata yang mereka hadapi, bukan ajakan, gerakan, atau hasutan untuk membenci atau memusuhi kelompok masyarakat tertentu. Adapun frasa “suku, agama, ras, dan antargolongan” dalam pasal ini telah menimbulkan multiinterpretasi mengenai kelompok masyarakat mana saja yang dilindungi.
Dijelaskan juga, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dan UU ITE terbaru, frasa antargolongan tersebut sudah dispesifikkan menjadi ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik. Ini membuktikan bahwa frasa “antargolongan” dalam UU ITE lama telah menimbulkan ketidakpastian hukum karena dapat diinterpretasikan secara bermacam-macam.
Pada UU ITE terbaru, Pasal 27 ayat 3 juga sudah dihapus, meskipun secara substansi penghinaan tetap dipertahankan di Pasal 27A. Namun, fakta ini membuktikan bahwa rumusan pasal ini juga karet dan bermasalah.
Maka dari itu, Koalisi Serius untuk Revisi UU ITE menyerukan kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dan Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk:
Pertama,Mengawal proses hukum terhadap empat aktivis lingkungan hidup #SaveKarimunjawa agar berjalan dengan seadil-adilnya sesuai dengan mekanisme hukum yang berlaku.
Kedua, Mengambil sikap dan tindakan yang mendukung perlindungan kebebasan berekspresi bagi aktivis lingkungan hidup dan siapapun yang menyuarakan kepentingan publik.
Ketiga, Menjamin keamanan warga dan aktivis #SaveKarimunjawa untuk mengemukakan ekspresinya secara damai, termasuk yang bersifat kritis terhadap para pelaku tambak udang intensif ilegal.
Disamping itu Koalisi Serius untuk Revisi UU ITE juga mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia, Jaksa Agung, Kepala Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Kepala Kepolisian Resor Jepara, dan Kepala Kejaksaan Negeri Jepara untuk menghentikan proses hukum empat aktivis lingkungan hidup #SaveKarimunjawa yang dituduh melanggar pasal pencemaran nama baik dan ujaran kebencian UU ITE, memastikan pengimplementasian SKB 3 Lembaga tentang Pedoman Implementasi UU ITE dalam penanganan kasus-kasus yang menggunakan UU ITE sebagai dasar hukumnya, terutama yang menggunakan pasal-pasal karet seperti pencemaran nama baik dan ujaran kebencian; memastikan tidak ada lagi warga dan aktivis #SaveKarimunjawa yang diproses hukum hanya karena mengemukakan ekspresinya secara damai, termasuk yang bersifat kritis terhadap para pelaku tambak udang intensif ilegal.
Aktivis lingkungan hidup yang bergabung dalam gerakan #savekarimunjawa terus menyuarakan perjuangannya agar tambak ilegal tersebut ditutup sejak 2 tahun terakhir. Alih-alih mendapatkan jawaban atas persoalannya, warga yang vokal menolak tambak udang intensif ilegal untuk menyelamatkan lingkungan dan perekonomian justru mengalami kriminalisasi.
Hadepe