JEPARA (SUARABARU.ID) – Kabar baik, pada Hari Senin, 8 Januari 2024, dua aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) dan juga Direktur Eksekutif Lokataru Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti mantan Koordinator Kontras divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Jakarta Timur atas kasus pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam UU Informasi dan Transaksi Elektronik
Hal tersebut diungkapkan oleh Sekretaris DPW Kawali Jawa Tengah Tri Hutomo menanggapi bebasnya Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti serta proses hukum yang dijalani oleh 4 aktivis lingkungan dan pelaku wisata Karimunjawa
Menurut Tri, Haris Azhar dan Fatia Maulidiyanti diperkarakan oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan (LBP). Kemenangan ini sebagai simbol kemenangan pejuang demokrasi dan juga lingkungan, atas cengkeraman pasal-pasal sampah UU ITE.
Sidang atas Fatia dan Haris dimulai pada 3 April 2023 di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, yang digelar sampai 32 kali ini tetap perlu menjadi catatan evaluasi. Persidangan ini berlangsung lama dan sangat menguras energi
Berdasarkan dakwaan yang dibacakan Jaksa Penuntut Umum, Fatia dan Haris didakwa melanggar ketentuan pidana pencemaran nama baik sebagaimana diatur dalam Pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 3 UU ITE juncto pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Menurut KAWALI Jawa Tengah, melalui Sekretarisnya Tri Hutomo soal bebasnya dua aktivis HAM tersebut dari tuduhan pencemaran nama baik. Tri meyakini putusan ini dapat menjadi preseden baik. “Moment ini bisa jadi awal yang baik bagi upaya perlindungan atas kritik, kebebasan berekpresi, para aktivis pembela HAM maupun lingkungan ” dalam keterangannya pada Selasa (9/1/2024).
Ini bisa memberikan suntikan semangat bagi segala bentuk gerakan atau perjuangan di Jawa Tengah, khususnya pada permasalahan tambak ilegal di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Karimunjawa Jepara, yang sampai saat ini ada 4 aktivis lingkungan yang diadukan atas sangkaan pelanggaran UU ITE, dengan satu orang telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Reskirm Polres Jepara. Sedangkan 3 orang telah menerima undangan untuk wawancara klarifikasi perkara di Polda Jateng
Atas perkembangan tersebut, perlu kiranya kita terus mengawal bahkan merebut kembali ruang-ruang kebebasan sipil yang telah diatur oleh Undang-undang.” jelas Tri.
Berkaca pada pertimbangan majelis hakim dalam putusan Fatia-Haris bisa menjadi preseden untuk penyelesaian kasus-kasus di atas, serta penerapan pasal penghinaan dalam KUHP baru, revisi kedua UU ITE, maupun dalam kinerja aparat penegak hukum, bahwa kritik terhadap penguasa, pejabat atau pelaku usaha ilegal yang berdampak negatif terhadap lingkungan dilindungi dalam negara demokratis, bisa menjadi masukan dan fungsi kontrol.
Bukan sebaliknya, orang atau kelompok orang yang mendedikasikan hidupnya untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup, baik flora maupun fauna dan kelestarian alam secara umum malah dilemahkan, sementara pelanggaran serius yang menjadi penyebab dampak-dampak negatif belum dilakukan penindakan secara hukum.
Pada kasus Daniel Frits Maurits Tangkilisan, pasal yang didakwakan yaitu Pasal 45A ayat (2) Jo Pasal 28 ayat (2) Undang-undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik, tentang ujaran kebencian karena mengkritik tambak udang yang merusak lingkungan”.
Seharusnya pada proses penyidikan bisa mempertimbangkan dalam menarik sebab akibat, karena terbukti ” dalam laman facebooknya, Daniel mengunggah video salah satu kondisi pantai di Karimunjawa yang diduga tercemar limbah tambak udang.
Video itu memperoleh banyak respons dan dukungan, Ia sempat membalas salah satu komentar sambil menyebut ‘masyarakat otak udang’, dengan maksud masyarakat jangan sampai tidak peduli atas kerusakan lingkungan yang terjadi di pantai Cemara waktu itu, dalam arti supaya masyarakat sadar atas ancaman kerusakan lingkungan yang terjadi. Dan dalam komentar tersebut Daniel tidak pernah menulis spesifik masyarakat Karimunjawa.
Penegak hukum harusnya mempertimbangkan fakta lapangan bahwa memang terjadi kerusakan dan pencemaran disana, yang menjadi sebab adanya dakwaan yang disangkakan. Bahkan karena tulisan Daniel tersebut, masyarakat akhirnya sadar akan ancaman dampak negatif terhadap lingkungan sebagai nilai jual sektor pariwisata di Karimunjawa, sehingga semakin banyak masyarakat yang tergugah akan permasalahan lingkungan di Karimunjawa, dari daerah sampai mancanegara.
“Hal ini pada akhirnya tetap berpengaruh pada iklim kebebasan berekspresi dalam mempertahankan kelestarian lingkungan di Karimunjawa, terlebih pengaduan UU ITE mengarah pada korlap aktivis lingkungan lainnya, seperti Hasanudin, Sumarto Rofi’un dan Datang AR ” ujarnya.
“Yang utama adalah, orang yang bersuara terkait kepentingan kelestarian lingkungan teralihkan tenaga dan perhatiannya ke proses kriminalisasi. Hal ini yang perlu menjadi catatan dalam sistem peradilan pidana, khususnya yang berhubungan dengan kebebasan berekspresi, mengupayakan lingkungan yang sehat. Bahwa upaya kritik untuk kepentingan kelanjutan Karimunjawa sebagai Kawasan Strategi Pariwisata Nasional, tak harus direspons dengan proses pidana,” katanya.
Karena itu, KAWALI Jawa Tengah mengingatkan bahwa proses kriminalisasi ini tak lepas dari kebijakan hukum pidana khususnya dalam UU ITE yang tidak dirumuskan dan diimplementasikan sesuai dengan prinsip negara demokratis. Perlu diingat juga bahwa masih ada orang-orang yang dalam proses kriminalisasi, karena bersuara kritis demi kepentingan kelestarian lingkungan.
Pada 7 Desember 2023, Daniel yang memenuhi kewajiban lapor ke Polres Jepara malah ditahan selama semalam. Kasus-kasus ini hanya sedikit dari banyaknya kasus kriminalisasi UU ITE lainnya yang kerap kali terjadi, dan menyerang ruang kritis masyarakat.
“Dengan demikian, bebasnya Fatia-Haris aktivis HAM menjadi secercah harapan dan membuktikan supaya masyarakat tidak takut melontarkan kritik, menyampaikan fakta, dan kebenaran di publik.
Hadepe