blank
Dekan Fakultas Ilmu Budaya Undip Dr Nurhayati, M. Hum usai membuka kuliah umum dengan tema “Melacak Relasi Tionghoa Pribumi di Nusantara”.

SEMARANG (SUARABARU.ID)- Sejarah panjang keberadaan etnis Tionghoa di Nusantara menjadi salah satu bagian penting dalam perjalanan Republik Indonesia. Sejarah mencatat, etnis Tionghoa menjadi bagian dalam peristiwa-peristiwa besar di Nusantara.

blank
Dekan FIB Undip, Dr Nurhayati, M. Hum, Dr. Alamsyah, M.Hum, Prof. Dr. Nina Herlina, M.S,, Drs. Hadi Priyanto.

Pasang surutnya relasi Tionghoa, terutama dengan masyarakat Jawa terekam dengan sangat baik dalam literatur sejarah Indonesia, diantaranya geger Pecinan di abad ke-17 M. Geger Pecinan merupakan salah satu peristiwa besar pemberontakan Tionghoa-Jawa dalam melawan VOC Belanda.

Dengan mengangkat tema “Melacak Relasi Tionghoa Pribumi di Nusantara”, Fakultas Ilmu Budaya (FIB) Universitas Diponegoro (Undip) Semarang menggelar kuliah umum, pada Rabu, (13/12/2023). Kuliah umum dibuka oleh Dekan Fakultas Ilmu Budaya Undip Dr Nurhayati, M. Hum. Sedangkan narasumber adalah Wakil Dekan FIB Undip Prof. Dr. Alamsyah, M.Hum, dan Prof. Dr. Nina Herlina, M.S, dari Universitas Pajajaran Bandung. Acara ini dimoderatori oleh Hadi Priyanto, Redaktur Suarabaru. Id yang juga pegiat sejarah dan budaya Jepara.

blank
Prof. DR. Alamsyah saat memberi cinderamata kepada Drs. Hadi Priyanto, MM.

 

Pada kuliah umum ini Prof. Dr. Nina Herlina, M.S, i menyajikan makalahnya yang berjudul “Menelusuri Jejak Tokoh Tionghoa: Yap Tjwan Bing”. Sementara Prof. Dr. Alamsyah, M.Hum menyampaikan materi “Hubungan Tionghoa-Pribumi di Jawa, Dari Segregasi ke Integrasi: Pasang Surut Relasi Harmonii Cina-Jawa”. Kuiah umum ini diikuti oleh mahasiswa FIB dari prodi sejarah

Hanya satu Pahlawan Nasional Etnis Tionghoa

Dalam paparannya Prof Dr. Nina Herlina M. Si mengungkapkan
hingga tahun 2023, Indonesia memiliki 203 orang pahlawan nasional. “Namun dari jumlah tersebut, baru ada 1 orang Tionghoa yang menjadi pahlawan nasional yaitu John Lie, ” ujarnya.

Padahal menurut Prof Nina Herlina, ketika ia bersama 30 orang sejarawan di Indonesia menulis buku Sejarah Orang Tionghoa di Nusantara, yang diluncurkan 2 Oktober 2023 lalu, terdapat banyak tokoh-tokoh beretnis Tionghoa yang turut berjuang. Salah satunya adalah Yap Tjwan Bing.

“Saya berniat untuk mengusulkannya sebagai pahlawan nasional Sebagai tahap awal, kita telusuri dahulu perjuangannya dan menganalisis apakah mendiang memenuhi kriteria sebagai pahlawan nasional, ” ungkapnya.

Karena itu perlu dijelaskan terlebih dahulu SOP pengusulan pahlawan nasional dan juga kriteria pahlawan nasional sesuai dengan UU RI no 20 th 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan.

“Analisis saya lakukan dengan meminjam tulisan Shinta Devi Ika Santhi Rahayu, SS,MA., yang berjudul Biografi Yap Tjwan Bing, ” ungkapnya.

Menurut Prof Dr Nina Herlina, Yap Tjwan Bing
lahir di Solo pada 31 Oktober 1910 di Slompretan, Solo, Jawa Tengah.

Aktifitas politik Yap Tjwan Bing di Persatuan Tionghoa yang kemudian berubah nama menjadi Partai Demokrat Tionghoa menunjukan keinginannya untuk memiliki kontribusi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia.
Ketika cita-citanya untuk terjadi pembauran Tionghoa dan pribumi tidak dapat tercapai pada Partai Tionghoa Indonesia, Yap Tjwan Bing kemudian mendirikan Indonesia Persatuan Tenaga Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan etnis.

Prof Nina Herlina juga menjelaskan, Yap turut berperan pada BPUPKI. Selain Yap, ada beberapa tokoh Tionghoa lainnya yang konsisten ikut serta dalam perjuangan bangsa Indonesia. Diantaranya ada yang bergabung dalam BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia), yaitu Liem Koen Hian, Oei Tjong Hauw, Tan Eng Hwa, Oei Tiang Tjoei.

Pada 7 Agustus 1945, Yap diangkat menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan menghadiri pengesahan UUD 1945.

Setelah PPKI dibubarkan, Yap menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat). Di sini ia berkenalan dengan Siauw Giok Tjhan, anggota KNIP dari golongan Tionghoa

Pada masa pendudukan Jepang, sebagian besar orang Tionghoa tidak aktif dalam organisasi, namun, Yap tetap konsisten mendukung perjuangan bangsa Indonesia dengan menghadiri rapat pembentukan Gerakan Angkatan Baroe Indonesia dan Gerakan Rakjat Baroe.

Pada 7 Agustus 1945, Yap kemudian diangkat menjadi anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) dan menghadiri pengesahan UUD 1945. Dalam sidang tersebut, Yap Tjwan Bing menjadi anggota termuda, karena usianya masih 33 tahun.

Jap Tjwan Bing bersama anggota PPKI lainnya, pada sidang tanggal 18 Agustus 1945 menetapkan Pembukaan dan Undang-Undang Dasar 1945, serta memilih pula Soekarno sebagai Presiden dan Hatta sebagai Wakil Presiden negara Republik Indonesia Setelah PPKI dibubarkan, Yap menjadi anggota KNIP (Komite Nasional Indonesia Pusat).

Yap Tjwan Bing juga berpendapat bahwa sebaiknya masyarakat Tionghoa tidak mengasingkan diri ke dalam partai yang beranggotakan orang-orang Tionghoa. Tetapi sebaiknya bergabung ke dalam partai politik Indonesia. Pemikiran tersebut mendorong Yap meninggalkan Partai Demokrat Tionghoa Indonesia dan memilih partai politik yang didirikan tokoh-tokoh pergerakan Indonesia.

Keputusan Yap Tjwan Bing tersebut menunjukkan bahwa akhirnya ia memiliki pemikiran yang sama dengan Liem Koen Hian, yaitu salah satu Tionghoa Peranakan yang menolak berdirinya Persatuan Tionghoa dan lebih memilih mendirikan Persatuan Tenaga Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan etnis.

Selain itu, Yap ikut serta dalam pembentukan sekaligus menjadi dosen Fakultas Farmasi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang berada di Klaten. Ia juga turut aktif membentuk Perkumpulan Akademisi Golongan Keturunan Tionghoa.

Ketertarikan Yap dalam dunia politik dan didukung oleh kedekatannya dengan Ali Sastroamidjojo, mengantarkan Yap berkenalan dengan Sartono, salah satu tokoh penting PNI, yang kemudian mengantarkannya berkenalan dengan Soekarno dan Hatta. Mulai saat itu, Yap komitmen mendukung perjuangan Soekarno dan Hatta . Selain memiliki komitmen yang kuat terhadap perjuangan bangsa Indonesia, Yap juga dikenal sangat ulet dan rajin bekerja.

Sementara itu, Wakil Dekan FIB Undip Prof. Dr. Alamsyah, M.Hum menyampaikan bahwa kisah harmoni Cina-Jawa dari aspek politik masih sedikit yang mengungkap secara komprehensif sehingga  berdampak pada stigma negatif terhadap etnis ini.

“Karya  Geger Pacinan 1740-1743 Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC   semakin mengokohkan hubungan harmoni Cina-Jawa dari aspek politik. Peristiwa Geger Pecinan atau dikenal dengan sebutan Perang Tionghoa (Chinese War), Huru Hara Tionghoa (Chinese Troubles), Pemberontakan Tionghoa (Chinese Revolt), Kompeni Walanda berperang dengan Tjina, atau Perang Sepanjang merupakan bukti politik cairnya hubungan antara Cina-Jawa”, ungkap Alamsyah.

“Ternyata meskipun ini sebuah peristiwa besar, tetapi sejarah Perang Cina di Jawa pada masa orde baru tidak muncul dalam buku sejarah. Padahal pada masa demokrasi liberal dan demokrasi terpimpin  perisitiwa ini kenal dengan nama “Revolusi Tahun 1740-1743”, lanjut pria kelahiran Jepara tersebut.

“Oleh karena itu Geger Pecinan memberi kontribusi besar bagi pertautan yang harmonis antara Tionghoa-Jawa”, tegas Alamsyah.

Geger Pecinan

Perang Cina atau Perang Sepanjang atau Perang Kuning yang terjadi (1740-1743) ini meletus di Batavia, Karawang, Cirebon, Pesisir Pantai Utara Tegal, Pekalongan, Semarang, Kudus, Jepara, Blora, Purwodadi, Rembang, Lasem, Tuban, Surabaya, Pasuruan, Yogyakarta, Surakarta, Banyumas, Pacitan, Madiun, dan Malang.

Perang ini dipicu oleh Pembataian Cina  di Batavia Oktober 1740 yang menewaskan 10.000 jiwa. Orang Cina  yang selamat melarikan diri ke Timur dan bergabung dengan orang Jawa yang tidak suka pada VOC. Penguasa Jawa, Sunan Pakubuwono II di Surakarta pada saat itu juga tidak suka kepada VOC sehingga memihak pada perjuangan orang Cina. Namun, dalam perkembangannya, Sunan Pakubuwono II berganti haluan berpihak pada VOC.

Perang Sepanjang adalah perang koalisi antara antara pasukan Tionghoa dengan pasukan Jawa (Mataram) melawan VOC. Dalam perlawanan ini, pasukan Sepanjang sempat mengepung Semarang dan Surabaya. Semarang merupakan tempat kedudukan Gubernur Pantai Timur utara  Laut Jawa yang membawahi seluruh pantai utara laut Jawa.

ua/hadepe