blank
Eric Ten Hag. Foto: manud

blankOleh: Amir Machmud NS

// telah padamkah api/ di kedalaman ruh semesta kehidupannya?/ meredup dalam ketidakpastian waktu/ bergerak dalam ketidakjelasan langkah/ tanpa keseimbangan/ : angan, tradisi, dan kenyataan//
(Sajak “Operasi MU”, 2023)

ANDAI para legenda Manchester United berkolaborasi dalam sebuah “konsorsium manajemen”, akankah kritik-kritik yang biasa mereka alirkan membuahkan konstruksi perbaikan?

Roy Keane, Paul Scholes, Rio Ferdinand, Patrice Evra, atau Peter Schmeichel. Inilah sebagian eks MU yang rajin mengkritik bukan hanya MU-nya Eric Ten Hag sekarang, tetapi juga sederet pelatih sejak Alex Ferguson pensiun pada 2013.

Kemelut performa Setan Merah tak kunjung mereda, bahkan cenderung memunculkan banyak kondisi rumit. Setelah musim sebelumnya Ten Hag memberi harapan dengan meraih Piala Liga (Carabao Cup), kini MU kembali ke labilitas dengan hanya menduduki peringkat keenam klasemen.

Kekalahan 0-1 dari Newcastle United di St James Park, pekan lalu, memperkuat skeptisitas terhadap pergerakan perubahan yang sedang dirajut. Bahkan kemenangan penting 2-1 atas Chelsea yang menaikkan MU dari peringkat tujuh ke tangga keenam, rasanya belum bisa menjadi penawar luka. Apalagi ketika sejumlah “kesalahan yang tak perlu masih terasa membebani”.

Potensi friksi di ruang ganti antara para pemain dengan Eric Ten Hag makin tak terhindarkan. Terakhir, Anthony Martial dan Marcus Rashford “melawan” wibawa sang pelatih dengan cara mereka: bermain yang terkesan ogah-ogahan saat melawan Newcastle.

Blunder-blunder gila kiper Andre Onana, dan kepemimpinan Bruno Fernandez banyak dikuliti Roy Keane cs. Taktik Ten Hag juga “tak pernah beres” di mata penilaian para legenda.

Makin kuatkah justifikasi pernyataan Ralf Rangnick, arsitek MU sebelum Ten Hag, bahwa yang sejatinya dibutuhkan klub ini bukan sekadar pergantian pelatih, melainkan “operasi jantung”?

Bedah Jantung
Menurut Rangnick, MU tak cukup melakukan beberapa perubahan kecil di sana-sini. Ada lebih banyak hal yang harus diubah, yang disebut pelatih asal Jerman itu sebagai “operasi jantung terbuka”.

Suksesi kepemilikan yang awalnya diharapkan memberi penyegaran, ternyata berlalu hanya menjadi semacam “seremoni rutin”. Belum ada terobosan manajerial setelah saham terbesar MU diambil alih oleh Sir Jim Ratclift dari keluarga Malcolm Glazer.

“Bedah kardiovaskular” itu bisa terpetakan dalam konsep ide dan tindakan, yakni komitmen pemilik terkait iktikad bersaing, yang selaras dengan visi pelatih dan kebutuhan belanja taktikalnya. Selebihnya bagaimana membangun kembali tradisi juara yang sejak 2013 bagai menguap dari keangkeran “Theatre of Dream” Old Trafford.

Jadi bagaimana membongkar “pusat kehidupan” MU?

Setelah Ratclift menjadi penguasa baru, haruskah Eric Ten Hag didepak sebagai opsi penyegaran nakhoda yang memimpin kebijakan taktik?

Akankah dia menjadi “korban” konspirasi pemain yang pada titik tertentu membuat perlawanan dengan bermain semaunya, seperti pengalaman sejumlah pelatih sebelunya?

Atau MU harus melakukan “cuci gudang” untuk membangun kekuatan baru yang sesuai dengan visi pembugaran? Bukankan langkah itu telah pula ditempuh oleh Eric Ten Hag? Kini yang ada dalam rencananya adalah menjual Jadon Sancho, Raphael Varane, dan Casimero; tiga pemain yang sebelum ini pernah memberi jejak harapan.

Memecat Ten Hag tampaknya bukan opsi yang tepat. Eks pelatih Ajax Amsterdam itu, bagaimanapun sudah “sempat” berada di jalur benar untuk memperbaiki keadaan dan memulihkan karakter pemenangan. Lebih pas dia tetap diberi kepercayaan dan waktu.

Di antara nama-nama pendahulunya: David Moyes, Louis van Gaal, Jose Mourinho, Ole Gunnar Solskjaer, dan Ralf Rangnick, bagaimanapun Ten Hag tercatat yang paling menjanjikan. Visi dan karakter bermain Bruno Fernandes dkk mulai tampak.

Keputusan mempertahankan Harry Maguire yang sempat menjadi titik lemah pertahanan terbukti tepat; perlahan tapi pasti “bek blunder” itu kembali ke peran fungsional, bahkan terpilih sebagai Player of the Month EPL untuk edisi November. Bersamaan dengan pengakuan terhadap performa Maguire, predikat manajer terbaik diraih Ten Hag yang mencatat tiga kemenangan beruntun dan clean sheet. Juga gol terbaik Alejandro Garnacho, salto spektakuler saat mengalahkan Everton.

Peta ekosistem Liga Primer musim ini ditandai oleh status quo Manchester City, ikhtiar kebangkitan Liverpool, pembuktian konsistensi Arsenal untuk memimpin klasemen dan siap berebut mahkota dengan City, Aston Villa yang fantastis bersama Unay Emery, penyeruakan Newcastle United dengan investor baru dari Arab Saudi. Juga realitas keterpurukan Chelsea, Everton, lalu laju Tottenham Hotspur di bawah arsitek baru.

Dengan konstelasi ekosistem itu, MU tampaknya membutuhkan “operasi” dengan dukungan psikologis para legenda, menjadi semacam “konsorsium konfidensi”, “konsorsium keyakinan”, dan tak kalah penting “konsorsium hati”. Apalagi ketika juara EPL musim ini tampaknya baru akan dipastikan di pekan-pekan terakhir.

Jangan biarkan “alumni” menjadi komunitas terpisah yang terus bersuara gelisah. Jadikan mereka sebagai bagian solusi untuk keluar dari kemelut prestasi yang berkepanjangan.

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah