blank
Agus Prayogo saat tampil di Borobudur Marathon 2021. Foto: bormar

Oleh: Amir Machmud NS

blankEMBUN membasah di rerumput pelataran Candi Borobudur pada Minggu, 19 November 2023. Embusan angin serasa lembut, bersiul membelai udara subuh. Betapa kesejukan di bukit Sambarabudhara itu menghadirkan citra paradoks dengan panas yang menyengat pada kemarau terik musim ini.

Fokus para pelari jarak jauh tak terpengaruh oleh terpa udara dingin di seputar Taman Lumbini di kompleks candi Buddha terbesar dunia itu. Mereka diliputi kegembiraan berlomba, perasaan yang secara alamiah membuang ketegangan pada setiap menjelang aba-aba start diteriakkan. Para pelari dan masyarakat seperti menemukan kembali “suasana yang hilang”, setelah marathon terbesar di Tanah Air ini sempat digelar dengan segala keterbatasan pada 2020, 2021, dan 2022.

Dan, Borobudur Marathon 2023 memanggungkan lagi keindahan kompetisi lari yang tak ada duanya. World Marathon Majors di berbagai belahan dunia mencitrakan keunggulan dengan faktor pembeda masing-masing dari segi teknis dan fasilitas, sedangkan dalam hal latar belakang kesejarahan dan eksotika alam, Borobudur Marathon layak mengklaim diri menuju status perhelatan nomor satu.

Peta Jalan “Branding”
Sejak digelar pada 2017, lomba lari yang pada 1990-an dinisiasi oleh pengusaha Bob Hasan lewat Borobudur Run, lalu diteruskan dan dikembangkan oleh Liem Chie An dengan Borobudur 10K dan Borobudur Marathon ini terus diperjuangkan untuk menjadi salah satu seri majors marathon. Yayasan Borobudur Marathon, bekerja sama dengan Pemprov Jawa Tengah, dan Bank Jateng, menggandeng event organizer (EO) Kompas sebagai pelaksana penyelenggara.

Peta jalan (road map) menuju marathon major dibentangkan sejak 2019, yang dalam referensi dunia atletik, melekat sebagai brand Marathon London, Marathon Berlin, Marathon New York, Marathon Chicago, Marathon Boston, dan Marathon Tokyo.

Dalam teknis lomba dan kenyamanan peserta (termasuk fasilitas dan keunikan ekosistem), penyelenggara berjuang meraih status “Label” dari World Athetics. Posisi ini merupakan basis untuk menuju “Elite Label”, “Gold Label”, dan “Platinum Label”. Semua ditentukan oleh World Athletics yang mengatur, mengurusi, dan menyertifikasi berbagai lomba marathon di dunia.

Dalam Borobudur Marathon, rute diarahkan dan dikelola oleh penyelenggara untuk menggambarkan keterintegrasian sejarah, alam, keunggulan pariwisata, dan antuasiasme masyarakat sekitar. Sejak 2017, rute lomba telah terverifikasi oleh Asosiasi Marathon dan Lari Jarak Jauh Internasional (Association of International Marathon and Distance Races/AIMS).

Perjalanan penyetaraan Borobudur Marathon antara lain sempat terjeda oleh pandemi Covid-19 yang kemudian memaksa penyelenggara untuk mengkreasi agenda lomba dengan segala keterbatasan. Event tetap terselenggara sesuai kalender, walaupun dengan modifikasi adaptasi kondisi pandemi.

Dalam perkembangannya, setelah pada 2021 terselenggara secara “offline” dan virtual lantaran menyesuaikan kondisi pandemi Covid-19, pada 2021 dipusatkan hanya di seputar kompleks Cndi Borobudur. Setahun kemudian, diketengahkan kreasi menampilkan tiga kategori peserta, yakni Elite Race, Young Talent, dan Tilik Candi (untuk masyarakat umum).

Kategori Tilik Candi menggambarkan sikap keberpihakan yang unik, sebagai gagasan kreatif Gubernur Jawa Tengah (waktu itu) Ganjar Pranowo. Cara berpikirnya, tetap merawat kunjungan wisata ke Borobudur walaupun dengan keterbatasan sebagai tanggung jawab “niliki” atau menengok. Dan, di sela-sela kegiatan besar berskala internasional itu tersampaikan pesan “suatu ketika akan menengok lagi dalam kondisi yang lebih leluasa”.

Detail dan Pembeda
Liem Chie An, Ketua Yayasan Borobudur Marathon, punya keyakinan bahwa lomba lari ini punya detail pembeda tersendiri dibandingkan dengan marathon besar lainnya di dunia.

Candi Borobudur — dengan semesta percandian di kawasan sekitar — merupakan salah satu pusat sejarah di Indonesia. Candi anggitan Empu Gunadarma di masa Wangsa Syailendera pada abad ke-8 sebagai candi Buddha terbesar di dunia itu, oleh UNESCO ditetapkan sebagai situs warisan dunia pada 1991. Di sekitar Borobudur kini juga tumbuh dan dikembangkan berbagai destinasi pariwisata pendukung yang berbasis pada keunikan dan eksotika alam.

Bagi Chie An, yang tinggal di sebuah kampung yang dia sebut “bagian halaman” Borobudur, tepatnya di Mertoyudan, menjadi hal yang mengusik hati manakala keberadaan candi tersebut tidak dimanfaatkan sebagai peluang menduniakan Indonesia. Salah satu pikiran dan langkahnya adalah lewat event marathon berskala dunia.

Maka, ketika tahun ini penyelenggaraan Borobudur Marathon memulih pasca-pandemi Covid-19, pikiran yang perlu kembali diperbarui oleh para pemangku kepentingan lomba lari ini adalah menduniakannya dalam citra sebagai marathon major. Bahkan dengan faktor pembeda yang betul-betul tidak ditemukan dari event serupa dengan status sama.

Marathon ini, selain pertaruhan reputasi agenda olahraga, juga citra bangsa secara terintegrasi dalam pariwisata, ekonomi, kualitas sumberdaya manusia, dan unjuk kemampuan dalam kenyamanan fasilitas pelayanan kepada para “pengunjung” Indonesia.

Ciptakanlah kerinduan yang bukan hanya “tilik”. Jadikanlah sebagai tujuan untuk diceritakan kepada siapa saja bahwa Indonesia punya marathon dengan latar belakang candi yang tak ada duanya…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah