blank
Timnas U17 Indonesia. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// mereka beranjak/ mereka bergerak/ tak sekadar menyemburatkan cahaya/ yang melawan logika/ jangan terus kaubaca sebagai kejutan/ bukankah ini keniscayaan/ simaklah sebagai capaian…//
(Sajak “Keniscayaan Sepak Bola”, 2023)

ANDA takkan bisa menyimpulkan sepak bola sebagai matematika yang memberi kepastian tentang angka-angka. Bukankah dia keniscayaan, yang tak membahasakan hanya tentang menang, hanya seri, dan hanya soal kalah?

Tak berlaku diksi “hanya”. Yang Anda pikirkan sebagai kemenangan bisa jadi adalah potensi hasil imbang, atau malah berwujud malapetaka kekalahan.

Begitu sering tersaji ketidakterdugaan di balik beragam rancangan taktik-strategi pemenangan. Kita terbiasa menyebutnya sebagai kejutan. Atau memaknai sebagai sukses antitesis terhadap sebuah tesis.

Atau itulah keberhasilan menerapkan antitaktik yang mendekonstruksi nilai-nilai kemapanan. Atau sejatinya perayaan determinatif atas segala sesuatu yang sering digambarkan sebagai kekuatan lain dari atmosfer di luar logika.

Bahkan, Anda mencatat pula bukan, kemenangan 2-0 Korea Selatan atas juara bertahan Jerman di Piala Dunia 2018 disebut-sebut sebagai “hasil pertandingan yang sulit dijelaskan oleh ilmu pengetahuan?”

Nah, seperti itu pulakah kita “menikmati” hasil-hasil laga Piala Dunia U17 di empat kota di Indonesia, hari-hari ini?

Secara fantastis, Iran memukul balik juara bertahan Brazil 3-2 dari ketertinggalan 0-2. Argentina terempas di hadapan Senegal. Dan, bila ini juga dihitung sebagai kejutan, Indonesia menahan 1-1 Ekuador, salah satu simbol kekuatan Amerika Latin.

Kiprah impresif itu dilanjutkan dengan menahan Panama 1-1, walaupun patut dimaknai pula sebagai keniscayaan ketika Iqbal Gwijangge dkk kalah 1-3 dalam laga ketiga grup melawan permainan mantap Maroko.

Level yang Meningkat
Ketika Nigeria menjadi salah satu kekuatan yang memberi warna dominan turnamen dunia ini, patutkah kita terus menyikapinya sebagai sekadar kejutan tim dari negara dunia ketiga?

Juga lompatan-lompatan Jepang dan Korea Selatan di panggung tim senior Piala Dunia, tak secara adilkah kita posisikan sebagai produk ijtihad pencapaian dari ikhtiar kompetisi liganya?

Kalau di kelompok senior Amerika Latin dan Eropa begitu berkuasa, di level U17 yang digelar sejak 1985 Nigeria-lah yang berkibar dengan lima kali juara dan tiga kali menjadi runner up.

Kolektor trofi terbanyak kedua baru menghadirkan Brazil dengan empat kali juara dan dua kali runner up. Tim Samba, sejauh ini menjadi kiblat dan “tanah suci” sepak bola dunia. Pengoleksi piala terbanyak berikutnya adalah negara Afrika lain, Ghana yang dua kali juara dan dua kali runner up.

Meksiko di posisi sama dengan Ghana, berkat raihan dua trofi juara dan dua kali runner up. Sebebihnya, Arab Saudi menjadi kekuatan kejutan Asia, meraih gelar juara 2009.

Capaian Nigeria dan Ghana jelas punya garis konsistensi sebagai kemajuan dan realitas peningkatan level. Apalagi kedua negara juga cukup disegani di level usia di atasnya hingga senior. Maka memosisikan kemenangan tim-tim Afrika-Asia atas status quo Latin dan Eropa tak lagi patut dilabeli secara mediatika sebagai sekadar kejutan, karena memang berlangsung proses penyetaraan level permainan.

Respons Manajerial
Dari arena U17 ini kita akan membaca “keniscayaan” sebagai “laku spiritual” dalam manajemen olahraga. Sama seperti memaknai hasil buruk tim senior Asnawi Mangkualam cs yang kalah 1-5 melawan Irak di Basra. Juga kekalahan pertama Argentina sejak juara dunia di Qatar 2022 dari Uruguay, dan Brazil yang ditaklukkan Kolombia.

Persiapan tim secara fisik, taktik, dan mental adalah elemen-elemen untuk menentukan “keniscayaan” seperti apa yang akan kita raih.

“Kekuatan” merupakan gambaran produk manajemen penyiapan paling aktual. Selebihnya bicara tentang antitaktik, antitesis, juga keberuntungan.

Maka jangan salahkan tim U17 kita yang memberi harapan dan kemudian meredupkan nyala api asa itu. Juga keyakinan tim senior yang sudah terasupi program naturalisasi pemain dan karisma pelatih Shin Tae-yong namun belum juga memetik hasil membanggakan.

Inilah rupanya titik perenungan untuk mengambil langkah manajerial: bagaimana seharusnya memberi “keniscayaan” sesuai arah yang diidamkan? Dan, bukankah coach STY telah mengapitalisasi persoalan-persoalan yang harus dipecahkan untuk membawanya ke ruang solusi?

Amir Machmud NS, wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —