blank
Mantan Mujahidin Perang Afganistan Nasir Abas memberikan pencerahan dalam Seminar Nasional Antiradikalisme di USM pada 9 November 2023.(Foto:News Pool USM)

SEMARANG (SUARABARU.ID) – ”Pada awal mengikuti ajaran pengajian tersebut (radikalisme), banyak perubahan positif pada diri saya. Tetapi setelah lama mengikuti pengajian tersebut muncul sikap merasa benar sendiri”.

Hal tersebut dikatakan salah satu mantan narapidana kasus terorisme yang kini menjadi Ketua Yayasan Persaudaraan Anak Negeri (Persadani) Jawa Tengah, Sri Puji Mulyo Siswanto dalam Seminar Nasional bertema ”Pendegahan Paham Radikalisasi bagi Mahasiswa Indonesia Menuju Generasi Emas 2045” di Gedung Auditorium Ir Widjatmoko Universitas Semarang (USM) pada 9 November 2023.

Kegiatan tersebut memecahkan rekor Muri sebagai seminar nasional di kampus yang menghadirkan napiter terbanyak yakni 20 orang.

Kegiatan yang diikuti 400 peserta tersebut dihadiri antara lain Ketua Pembina Yayasan Alumni Undip Prof Sudharto P Hadi MES PhD, Anggota Pembina Yayasan Alumni Undip Ir Soeharsojo IPU, Ketua Pengurus Yayasan Alumni Undip Prof Dr Ir Kesi Widjajanti MM, Rektor USM Dr Supari ST MT dan jajaran pejabat struktural USM.

Turut hadir pada kegiatan itu di antaranya, Kepala Badan Penanggulangan Terorisme Republik Indonesia Komjen Pol Prof Dr H M Rycko Amelza Dahniel MSi sebagai keynote speech, Direktur Intel Polda Jateng Kombes Pol Kukuh Kalis Susilo SIK, Kasubdit Identifikasi dan Sosial (Idensos) Densus 88 Antiteror Kombes Pol Kurnia Wijaya SH MH, dan Kepala Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Tengah Haerudin SH MH.

Puji mengatakan, dirinya mengaku berasal dari keluarga yang tidak terlalu dekat dengan ajaran agama. Ia mengenal paham tersebut saat duduk di bangku SLTA dan dikenalkan salah satu temannya yang seorang mahasiswa.

”Dari awal mengikuti ajaran tersebut, ada perbedaan yang saya rasakan yakni pengajian di ruang tertutup. Saat itu di antara kami sempat bertanya kepada salah satu senior, jawabannya agar lebih fokus dan konsentrasi. Saat itu kami beranggapan hal itu logis dan masuk akal,” ucapnya.

Dia mengatakan, selama beberapa tahun awal mengikuti ajaran itu, ia merasakan dampak yang positif pada dirinya yang menjadi pribadi, akhlak dasar dan ibadah yang lebih baik.

”Nilai-nilai kebaikan ada pada saya pada saat itu, sehingga saya tidak merasakan bahwa ini adalah ajaran yang menyimpang,” ujarnya.

Menurutnya, setelah sekian lama berada di dalam ajaran tersebut muncul sikap paling benar sendiri, yang lain itu bid’ah, khurafat dan syirik. Dirinya juga membatasi pergaulan dengan orang yang tidak satu pemahaman dan menjaga diri agar tidak berinteraksi dengan teman sepergaulannya.

”Saya juga menjadi antipemerintah karena beranggapan bahwa hukum yang bukan diturunkan Allah itu kafir. Mulai saat itu saya tidak mengakui adanya pemerintah dan ideologi Pancasila. Mulai saat itu saya melangkah lebih jauh hingga begabung dalam kelompok Noordin M Top dan Dr Azahari,” pungkasnya.

Sementara itu, mantan Mujahidin Perang Afganistan Nasir Abas mengaku, dirinya telah terpapar paham radikalisme sejak umur 16 tahun dan diberangkatkan ke Afghanistan saat berumur 18 tahun.

”Umur 18 tahun sudah memegang senjata, lihat betapa berbahayanya kelompok dengan paham tersebut. Itu adalah modus mereka hingga saat ini menargetkan mahasiswa untuk diberikan rasa kebencian, permusuhan dan menganggap pemerintah tidak benar harus diganti,” katanya.

Dia mengatakan, setelah 6 tahun di Afghanistan, dirinya menjabat sebagai ketua mantiqi 3 wilayah pendopo militer Jamaah Islamiyah (JI) yang mencakup wilayah timur yakni Sawah Malaysia, Kalimantan Timur, Kalimantan Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara dan Selatan Filipina.

”Bayangkan wilayah seluas itu dijadikan wilayah pendukung militer JI untuk merekrut, melatih dan melawan pemerintah Indonesia. Maka dari itu di antara mereka yang tertangkap memiliki senjata api dan bahan peledak,” ungkapnya.

Dia menambahkan, pihaknya pada saat itu telah menyebabkan banyak kerusakan karena berpikir bahwa siapa saja yang mendukung pemerintah adalah musuh kafir yang boleh dibunuh.

”Ternyata hal itu salah, apa yang kami yakini sebagai jihad adalah keliru. Itu bukanlah jihad tetapi jahat,” tuturnya.

Menurutnya, ia sadar akan hal itu setelah dirinya tertangkap pada April 2003.

”Ketika saya ditangkap, saya melawan karena menganggap ini sudah waktunya mati tidak peduli lagi dengan keluarga. Tetapi Allah tidak menakdirkan saya mati sehingga saya ditangkap hidup. Dilakukan pendekatan sehingga saya mau berbicara dan diberikan kesempatan membaca buku, bertemu dengan para kiai sehingga pikiran saya terbuka,” tuturnya.

”Dulu kami dipahamkan Indonesia itu anti-Islam. Ternyata apa yang kami yakini dahulu keliru. Indonesia memang bukan negara Islam tetapi juga bukan negara kafir. Indonesia adalah negara konsesus, negara kesatuan yang dimana kita sudah bersepakat untuk hidup bersama. Inilah yang menyadarkan kami salah dan telah kembali kepada NKRI,” pungkasnya.

”Kami tidak mau lagi ada aksi terorisme dan tidak mau ada lagi yang direkrut,” tandasnya.

Muhaimin