Cerita pendek Ramli Lahaping
DEMI mengakhiri status dudanya juga, Bahri berucap, “Apa Bapak ada jampi-jampi? Bagilah kepadaku,” pintanya, di tengah obrolannya dengan Kilan di tepi sungai, empat bulan yang lalu, setelah mereka mandi siang untuk melesapkan peluh selepas mengurus kebun mereka masing-masing.
Kilan menggeleng santai. Ia lalu tersenyum lebar dan memperlihatkan barisan giginya yang tak keruan setelah tanggal satu per satu.
“Lalu, apa rahasia Bapak sampai bisa memikat hati seorang perempuan?” selidik Bahri, penasaran.
Kilan yang sudah berusia 62 tahun lalu menggesek-gesekkan ibu jari dengan jari telunjuknya. “Uang. Pikatlah perempuan dengan uang. Hanya itu.”
Mendengar jawaban Kilan, Bahri pun percaya sepenuhnya. Ia jelas bisa melihat kalau keindahan rupa dan kekuatan fisik tidak lagi menjadi modal bagi lelaki yang lebih tua 13 tahun darinya itu. Tetapi soal kemapanan finansial atas ketekunannya bertani, si tua itu cukup meyakinkan.
Akhirnya, perasaan iri memacu Bahri untuk meningkatkan hasil panen kacang tanahnya. Ia ingin menyaingi Kilan dalam perolehan hasil panen, agar ia bermodal juga untuk menikah lagi. Ia sungguh tak tahan menduda dan mendapatkan sindiran dari orang-orang, terutama dari Kilan yang berhasil menikahi seorang janda cantik berusia 41 tahun dengan hasil panen kacangnya.
Tanpa menunda waktu, Bahri menyusun langkah cepat. Ia ingin segera mendapatkan hasil panen yang melimpah untuk kembali membangun rumah tangga. Apalagi, ia tengah tergila-gila pada seorang janda beranak satu di desa sebelah desanya.
Karena itulah, ia memutuskan untuk memperluas lahannya pertaniannya. Ia memutuskan menebang pohon tarap dan kepayang, juga membabat bambu dan gelagah di tepi kebunnya yang berbatasan dengan sungai.
Selain untuk memperluas lahan, keputusannya melenyapkan pepohonan dan tetumbuhan liar itu, juga untuk meningkatkan produktivitas tanaman kacangnya. Meski hanya tamatan SMP, dari pengalamannya, ia paham betul kalau tanaman apa pun tidak akan tumbuh subur dan memberi hasil yang baik jika dinaungi tetumbuhan lain, sebab akan kekurangan terpaan cahaya matahari yang penting bagi perkembangannya.
Tetapi rencana Bahri untuk menebang pepohonan dan tetumbuhan tersebut, malah mendapat penolakan dari Sofian, putranya yang duduk di kelas II SMA. “Menebang tanaman-tanaman itu akan membahayakan kebun kita, Ayah, sebab akan merentankan terjadinya erosi. Berdasarkan apa yang kupelajari di sekolah, akar perpohonan sangat penting untuk mencegah penggerusan tanah di daerah aliran sungai,” tutur Sofian, setelah sang ayah mengajaknya ke kebun untuk melakukan penebangan.
“Ah, kau ini. Belum juga sarjana, sudah berani-berani mengajari orang tua,” tanggap Bahri, tampak tersinggung.
“Tetapi penelitian memang menyatakan begitu, Ayah. Aku bahkan sudah menonton video ilustrasinya, kalau tanpa tanaman di pinggir sungai, akan sangat rawan terjadi longsor,” terang Sofian, mencoba mempertahankan pendapatnya. “Kupikir, keuntungan yang kita peroleh dari lahan setelah penebangan nanti, tidak seberapa ketimbang bahaya yang mengancam kebun kita.”
Bahri sontak menggeleng-geleng. Tak sependapat. “Lalu, apa kita akan membiarkan saja tanaman itu tubuh dan berkembang biak tanpa memberikan keuntungan yang berarti untuk kita? Bukankah sebaiknya kita memaksimalkan pemanfaatkan lahan untuk bercocok tanam?” sergahnya, dengan raut dan nada kesal.
Menyaksikan kengototan ayahnya, Sofian memilih tak membalas.
“Kau ini cuma sekolah untuk berurusan dengan buku-buku. Kau belum punya pengalaman apa-apa soal pemanfaatan lahan dan pertanian,” sambung Bahri.
Sofian mendengkus saja. Ia tampak malas untuk memperpanjang perdebatan.
“Sudah. Tak usah banyak cincong. Kau lakukan saja apa yang kurencanakan untuk meningkatkan hasil pertanian kita. Apalagi, butuh banyak uang untuk membeli sepeda motor. Kau mau dibelikan motor, kan?” sergap Bahri, seperti berusaha membuat rencana perluasan lahan itu terkesan sebagai kepentingan sang anak, bukan kepentingannya pribadi.
Akhirnya, atas kemauannya sedari dahulu, Sofian mengangguk pasrah.
“Kalau begitu. Bekerjalah dengan keras. Kalau hasil panen kacang kita nantinya memuaskan, aku akan segera membelikan sepeda motor untukmu,” pungkas Bahri, sembari memendam hasratnya untuk menikahi seorang janda.
Akhirnya, atas titah ayahnya, Sofian turut ke kebun dengan membawa sebuah kapak dan sebilah parang untuk membabat tanam-tanaman liar di pinggir sungai.
Dalam waktu seminggu, sekitar tiga setengah bulan yang lalu, pepohonan dan tetumbuhan di pinggir sungai itu akhirnya terbabat habis. Batang pepohonan kemudian diolah menjadi papan, sedangkan dahan dan rantingnya dikeringkan untuk menjadi kayu bakar. Bagian-bagian pepohonan dan potongan tetumbuhan yang dianggap tidak berguna, kemudian dihanyutnya di sungai begitu saja, seolah tak akan berakibat apa-apa.
Setelah tanaman-tanaman tersebut tumbang dan lenyap, Bahri pun senang melihat keadaan kebunnya yang tampak lapang dan lowong. Dengan semangat, ia lantas menanam benih kacang dengan sepenuh-penuh lahannya, hingga ke tepian sungai. Demi hasil panen yang melimpah, juga demi mengalahkan hasil panen Kilan, ia sungguh tak ingin menyia-nyiakan secuil pun permukaan tanahnya.
Hari demi hari bergulir, Bahri jadi makin optimistis menyaksikan taman kacangnya yang jauh lebih banyak dan tampak akan memberikannya hasil yang menakjubkan. Karena itu, ia mulai berkhayal-khayal kalau selepas panen nanti, ia akan mendapatkan tambahan modal yang banyak untuk segera meminang janda idamannya. Bahkan ia menaksir kalau setelah panen berikutnya, ia akan sanggup membeli sepeda motor untuk putranya.
Akhirnya, belakangan waktu, benak Bahri makin disesaki bayangan indah sang pujaan hatinya. Permenungannya itu kemudian menjerumuskannya ke dalam dunia imajinasi. Lantas, fantasinya meliar, hingga sang janda kerap hadir di dalam mimpinya. Karena itulah, dua hari berlalu di tengah kepungan hawa dingin akibat hujan yang terus-menerus, ia hanya mendekam di dalam rumahnya sembari mengkhayalkan sang pujaan pada siang hari, dan memimpikannya pada malam hari.
Dan lagi-lagi, malam tadi, ia kembali bermimpi tengah bermesraan dengan janda itu di taman penuh bunga dengan latar musik dangdut favoritnya. Adegan itu kemudian disusul adegan mereka yang saling berkejar-kejaran di bawah pepohonan, seperti dalam film India kesukaannya. Lantas selanjutnya, mereka terlibat adegan mesra di atas sebuah kasur yang empuk, seperti yang ia lakukan dengan istrinya dahulu. Serangkaian adegan itu benar-benar membuatnya terlena, hingga ia tak kunjung terjaga untuk menyaksikan kenyataan yang terjadi di dunia nyata.
Pagi pun datang. Matahari telah meninggi dengan cahaya yang masih meredup akibat terhalang awan mendung. Bahri akhirnya terbangun dengan kekecewaan setelah ia menyadari kalau kebersamaannya dengan sang pujaan hanyalah mimpi. Ia lantas bangkit dari pembaringan dengan perasaan lemas.
Ia kemudian menuju ke teras depan rumah panggungnya yang berdiri di dataran yang tinggi tersebut. Hingga akhirnya, dari balik tirai-tirai gerimis, ia menyaksikan pemandangan pada sisi dataran bawah, bahwasanya banjir telah menyapu bersih tanaman kacangnya dan meninggalkan timbunan lumpur. Ia pun melihat kalau arus banjir telah menggerus lahan perkebunannya, seperi yang diwanti-wantikan putranya.
Seketika, impian dan khayalannya, hancur berkeping-keping. Yang tersisa hanyalah penyesalan, sebab atas hasratnya yang tidak terkendali untuk mendapatkan keuntungan besar dalam waktu yang singkat, ia tidak hanya kehilangan bakal panenan kacang tanahnya, tetapi juga kehilangan seluasan lahan kebunnya karena gerusan banjir.
“Lihatlah, Ayah, apa yang terjadi kalau kita tidak paham dan peduli pada kelestarian lingkungan?” singgung Sofian, putranya, setelah terbangun dan menyusulnya di teras depan rumah.
Bahri tak membalas. Tetapi diam-diam, ia menginsafi kekeliruannya.
Detik-detik terus bergulir. Ayah dan anak itu hanya membisu dengan isi pikiran masing-masing.
Hingga akhirnya, saat gerimis kembali mereda, Kilan, tetangga mereka, datang bertamu dan memecah keheningan.
Setelah berbasa-basi dan menguatkan Bahri atas apa yang telah terjadi, Kilan lalu melontarkan kata-kata suruhan, sebagaimana tabiatnya yang lancang mengeluarkan isi hatinya, “Sofian, tolong seduhlah kopi untuk aku, juga ayahmu. Hawa sangat dingin, dan aku yang sudah tua ini butuh kopi untuk menghangatkan badan.”
Tanpa berkata-kata, Sofian melaksanakan perintah itu.
“Kok minta dibuatkan kopi sama Sofian? Apa istri baru Bapak tak pandai menyeduh kopi?” singgung Bahri, merasa aneh.
Wajah Kilan merengut kecut. “Ah, dia tidak bisa diatur. Dia mau yang enak-enak saja. Dia suka dikasih uang, tetapi malas bekerja. Karena kami cekcok, dia akhirnya pulang ke rumah orang tuanya, empat hari yang lalu.”
Mendengar penuturan polos Kilan itu, seketika, Bahri merasa telah mendapatkan penawar yang ampuh untuk meredakan kesedihannya.***
Ramli Lahaping. Kelahiran Gandang Batu, Kabupaten Luwu. Berdomisili di Kota Makassar. Menulis di blog pribadi (sarubanglahaping.blogspot.com). Bisa dihubungi melalui Instagram (@ramlilahaping) atau Facebook (Ramli Lahaping).