Ilustrasi

Oleh: Nazwar

KETIKA membaca diidentikkan sebagai aktivitas layaknya mengeja (“spelling”) huruf demi huruf dan merangkai kata.

Selanjutnya kata dirangkai dengan kata membentuk kalimat, pengertian sebatas itu tentunya sempit.

Bahkan penyaksian berupa seluas cakrawala kitab, diartikan sebagai aktivitas membaca tidak memberi cukup pengertian.

Maka makna membaca tidak sebatas membaca teks atau literatur berupa susunan huruf-huruf. Setidaknya dalam artikel kali ini, aktivitas membaca mencakup kegiatan membaca (objek) bacaan berupa aktivitas dan bersifat aktualisasi sepanjang hidup.

Dikisahkan awal turunnya wahyu, di kegelapan Gua Hira. Perintah pertama kepada Nabi Muhammad melalui Jibril ‘Alaihissalaam adalah mebaca. “Bacalah!” Katanya. “Saya tidak bisa membaca” jawab Nabi. Perintah membaca kepada Nabi tersebut sebagai suatu perbuatan, tentunya membutuhkan objek atau sasaran baca.

Tidak ada dikisahkan Jibril ‘Alahisaalaam kala itu mendatangi Rasul layaknya malaikat yang bercahaya atau membawa suatu cahaya, tidak ada! Dikisahkan bahwa Jibril ‘Alaihissalam kala itu dalam posisi yaitu memeluk Muhammad tersebut, yang kemudian dinobatkan sebagai Nabi penutup para nabi. Pertanyaannya, bagaimana proses membaca teks atau suatu tulisan dalam kondisi gelap gulita tanpa ada pencahayaan?

Lantas aktivitas membaca bagaimana yang termaksud, dan objek apa yang dimaksud untuk dibaca tersebut?

Pencermatan secara seksama terhadap kisah di atas ditemukan bahwa, memang tidak mungkin bisa membaca atau melihat objek bacaan pada saat itu. Tidak memungkinkan perintah kepada Nabi yang diketahui adalah “ummy” (buta huruf) untuk membaca di kegelapan malam.

Dalam hal ini Muhammad Abduh dari Mesir menafsirkan kisah yang diabadikan dalam permulaan Qur’an Surat al-‘Alaq di atas sebagai proses aktualisasi membaca secara komprehensif termasuk atasnya ayat-ayat tidak hanya bersifat “Kauniyah” (alam raya atau kehidupan nyata secara menyeluruh yang berbeda dengan “Qauliyah” yaitu berbentuk teks suci). Aktualisasi ini berlaku sepanjang kehidupan manusia.

Tokoh kenamaan Mesir, meski belum pernah menginjakkan kaki di tanah haram untuk berhaji, memiliki karya berupa tafsir-tafsir, termasuk di antaranya pemaknaan terhadap Surat al-Fatihah sebagai satu-satunya surat “tanpa “asbaabun-nuzuul”” memberikan pemaknaan sekaligus membuka cakrawala pemikiran terhadap makna membaca.

Membaca dikatakan sebagai aktivitas komprehensif lantaran pada prosesnya, berbagai bentuk budi, baik akal, hati menjadi satu kesatuan dalam kegiatan yang dinamakan membaca. Sehingga, membaca sebagaimana diungkap sains sebagai proses yang membawa manfaat di antaranya meningkatkan konsentrasi, daya ingat serta penghilang stress.

Lagi-lagi kembali kepada keutamaan membaca yang diungkap dalam berbagai literatur agama yang i’tibar atau diakui keabsahannya seperti dalam Islam, sebagaimana yang diungkap dalam artikel sebelumnya, adalah tidak mengherankan jika aktivitas membaca, khususnya Al-Qur’an yang dikatakan pada Hari Kiamat kelak dapat menjadi syafaat (penolong) bagi pembacanya.

Pahala atau balasan kebaikan dalam hal ini membawa kebaikan bagi pembaca al-Qur’an menjadi keniscayaan. Menjadi rasional dan dirasa tepat serta berkesesuaian dengan kenyataan bahwa membaca dalam dua arti yang dikemukakan di atas tidak hanya bagi pembaca secara personal.

Namun membaca Al-Qur’an dengan adab, teknik (ilmu) dan penguasaan yang benar membawa manfaat dan terbukti telah membentuk dan menggerakkan bahkan peradaban manusia sepanjang sejarah kehidupan.

Melebihi imperatif kategoris yang masih bersifat begitu saja, semestinya perintah bersifat ilahiyyah maka sepatutnya pula untuk diindahkan bahkan mengakar kuat di dalam hati siapa pun. Selanjutnya adalah terkait sikap, sepatutnya pula seiring dengannya yaitu mengamalkannya.

Nazwar, S. Fil. I., M. Phil., penulis lepas di Yogyakarta