JAKARTA (SUARABARAU.ID) – Secara aturan tidak ada yang dilanggar dalam permohonan ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait usia calon presiden dari 40 tahun menjadi 35 tahun.
Bahkan kewajiban mahkamah untuk menerima perkara dan memeriksa setiap permohonan dari masyarakat. Tetapi jika dalam permohonan tersebut didasari alasan politik berpeluang kemudian menjadi kontroversi.
Demikian dikatakan Pakar Hukum Tata Negara, Dr. Andi Mohamad Asrun dari Universitas Pakuan Bogor dalam Talkshow Titik Temu dengan topik ”Antara Putusan MK dan Isu Gibran Cawapres” di Jakarta, Sabtu (12/10/2023).
Selain Asrun hadir sebagai pembicara adalah Ray Rangkuti Direktur Lingkar Madani dan Kahfi Adlan dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem).
Asrun mengatakan, kalau seandainya yang mengajukan orang lain dan kemudian waktu yang sudah berlalu, harus dari proses pendaftaran segala macam.
“Jadi nggak ada koneksi dengan masalah pemilu, ini biasa-biasa saja. Selain itu juga ada pertanyaan, legal standing, mengapa bukan Gibran yang memohon langsung karena dia berkepentingan,” kata Asrun.
Jika memang ingin jadi wakil presiden. Bahkan dalam sidang-sidang di MK ada angota majelis, seperti Suhartoyo dan Saldi Isra mempertanyakan, kalau DPR dan pemerintah setuju dengan perubahan usia, langsung saja dibuat perubahan undang-undangnya.
“Kan, yang perlu diubah hanya satu pasal. Mengapa harus ke MK? Kemudian Prof. Mahfud juga mengatakan, ini masalah open legal policy, bukan wilayah kewenangan MK,” tegas Asrun yang pernah menjadi asisten hakim di Mahkamah Konstitusi.
Isu kecurigaan terhadap permohonan usia capres ke MK pada hari ini menjadi pembahasan banyak pihak, bukan hanya praktisi dan akademisi di bidang hukum tetapi juga masyarakat. Menurut Asrun, kecurigaan yang muncul menjadi beralasan bahkan ada kesan direkayasa agar Gibran Rakabuming putra Presiden Jokowi bisa maju menjadi Capres dengan kata lain permohonan ke MK ini bermuatan politik.
“Bisa dipertanyakan juga, kepentingan pemohon itu apa? Kecuali dia yang mau maju. Jadi kalau mau saklek, permohonan ini tidak lulus. Tidak sampai ke tingkat pleno karena tidak ada legal standing-nya. Bahkan, dari beberapa Hakim MK juga mempertanyakan, mengapa bukan Gibran yang maju sendiri? Kalau Gibran punya legal standing karena dia punya kepentingan,” jelas Asrun.
Sependapat dengan Asrun, menurut Ray Rangkuti batasan usia capres 40 tahun dalam undang-undang tidak ada yang merugikan pihak pemohon perubahan usia ke MK. Sehingga alasan menggugat atau melakukan permohonan perubahan batas usia ke MK ini menjadi tidak jelas.
“Apa yang membuat dia harus menggugat itu ? Apa pentingnya buat mereka? Kalau kemudian permohonan ini diterima selanjutnya pemohon mau apa? Saya sependapat dengan hakim Saldi Isra yang menyoal, mengapa 35 tahun, tidak 17 tahun?” tanya Ray yang menyebutkan aturan yang sudah ada tidak bertentangan dengan konstitusi.
Menurut Ray dia menerima jika alasan permohonan dikaitkan dengan meledaknya populasi generasi muda saat ini sehingga perlu diberi kesempatan untuk maju. Bisa juga dengan alasan terjadi kemandekan dari generasi politik dan pemimpinan nasional. Yang terjadi pada permohonan usia Capres ke MK ini menjadi diskriminatif pada masalah usia.
“Sinyal bahwa Gibran ingin jadi cawapres, orang bisa melihat dari foto-foto atau spanduk, baliho tentang Gibran sebagai calon wakil presiden. Baik Jokowi maupun Gibran tidak pernah dengan tegas menyangkal kecurigaan itu. Ini menunjukkan sinyal bahwa dia memang punya keinginan juga untuk jadi calon wakil presiden sehingga orang juga mengaitkan gugatan ke MK ini ada hubungannya dengan Gibran. Karena baik Jokowi maupun Gibran tidak pernah mendeklarasikan, Gibran tidak akan maju menjadi Capres atau Cawapres maka isu permohonan ke MK ada kaitan dengan mereka akan sirna,” kata Ray.
Sementara itu Kahfi Adlan menilai jika orang mengkaitkan dengan pengalaman menjadi penyelenggaran negara sebagai salah satu syarat menjadi capres atau cawapres maka bukan berarti harus mengabulkan permohonan penurunan batas usia. Karena pengalaman sebagai penyelenggaraan negara tidak sembarangan.
Kemudian muncul pertanyaan, apa yang menyebabkan keistimewaan orang yang pernah menjabat itu Lalu tiba-tiba dikecualikan dari usia 40 tahun?
Sehingga muncul pertanyaan lagi, konteksnya, sebenarnya, usia 40 tahun atau pengalaman? Yang mau diukur itu yang mana? Kalau ukurannya 40 tahun, apakah seseorang punya pengalaman atau tidak maka tidak lolos
. Kalau seseorang usianya 17 tahun tapi punya pengalaman di pejabat negara bisa saja lolos.
“Dari gambaran semua itu makin kuatlah sinyal untuk apa yang disebut sebagai kepentingan politik,” katanya.
wied