Sudah selayaknya kita apresiasi kepada para pihak yang selalu berkomitmen untuk memberikan perhatian, penanganan dan pemberdayaan hingga pemandirian penyandang disabilitas. WHO 2007 menyematkan disabilitas sebagai istilah umum (umbrella term) yang digunakan untuk merujuk pada kondisi keterbatasan fungsi/struktur tubuh (keterbatasan fisik, sensoris, intelektual, dan mental), keterbatasan aktivitas, dan hambatan berpartisipasi.

Mindset

Kita pahami, meskipun aksesibilitas bagi disabilitas sudah mulai berkembang ke arah positif, namun stigma yang melekat di pundak disabilitas sebagai penyakit dan harus disembuhkan masih terus ada. Hal ini berdampak ke sikap para orang tua atau caregiver yang menganggap bahwa terapi tumbuh kembang bagi anak disabilitas adalah jalan untuk menyembuhkan. Akhirnya para orang tua dan caregiver tidak konsisten dalam pendampingan karena menganggap percuma tidak sembuh sembuh.

Beberapa labeling mengemuka, dalam perspektif moral menganggap keberadaan penyandang disabilitas sebagai hukuman kepada keluarga/individu atas perbuatannya yang melanggar norma (Haryono, Kinasih, dan Mas’udah, 2013).

Pada domain belas kasihan menganggap penyandang disabilitas sebagai individu yang tidak mampu melakukan sesuatu secara mandiri sehingga memerlukan bantuan orang lain dan patut dikasihani.

Sedangkan pada aras kesehatan, framing penyandang disabilitas sebagai individu yang tidak normal sehingga harus diperbaiki agar mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan (LaurinBowie,2005). Sementara itu, dalam pandangan sosial menganggap masyarakat/ lingkungan memiliki peran dalam menciptakan kondisi disabilitas bagi penyandang keterbatasan fisik/mental/sensoris.

Kemudian menjangkau ke perspektif HAM, menyebutkan penyandang disabilitas sebagai bagian dari keberagaman dalam masyarakat dan mengakui hak yang sama dengan masyarakat nondisabilitas (UPIAS dan The Disability Alliance, 1975; Mji et al (2009).

Maka kemudian, penting kita mengubah mindset bahwa disabilitas bukanlah penyakit yang harus disembuhkan/dihilangkan, melainkan keterbatasan yang mampu dilatih dengan harapan agar kawan-kawan disabilitas bisa tumbuh sebagai pribadi yang mandiri di kemudian hari.

Merujuk UU No 36 Tahun 2009 pasal 139, negara menjamin ketersediaan fasilitas kesehatan dan menjamin penyandang disabilitas dapat hidup secara sosial dan ekonomi yang mandiri dan  produktif. Untuk mewujudkan kesehatan yang optimal bagi masyarakat, termasuk penyandang disabilitas, dilakukan upaya kesehatan yang utuh dan menyeluruh baik berupa upaya kesehatan perorangan maupun upaya kesehatan masyarakat berdasarkan prinsip nondiskriminatif, partisipatif, dan berkelanjutan.

Untuk menjamin terlaksananya program disabilitas secara terarah dan berkesinambungan demi mewujudkan layanan kesehatan yang inklusi bagi penyandang disabilitas, maka disusunlah Peta Jalan Pelayanan Kesehatan Inklusif Disabilitas Tahun 2017 – 2030.