TEMANGGUNG (SUARABARU.ID)-Ratusan warga Desa Kemiriombo, Kecamatan Gemawang, Kabupaten Temanggung menggelar tradisi perang cendol dawet. Tradisi tersebut dilakukan sebagai cara permohonan agar hujan segera turun di wilayah tersebut.
Perang cendol dawet tersebut digelar di makam leluhur masyarakat setempat, yakni Bon Gede yang ada di Dusun Gabug, Desa Kemiriombo, Jumat ( 6/10/2023).
Sebelum perang cendol dawet dimulai, tradisi tersebut diawal dengan Salat Istisqa ( salat minta hujan,red) yang dipimpin Imam Mislan Abidin dan khatib KH Muhani. Sementara ratusan warga Desa Kemiriombo sambil berteduh di bawah pohon kopi, telah menyiapkan cendol dan dawet yang diletakkan di ember, plastik, tempat air minum dan lainnya.
Setelah Salat Istisqa tersebut selesai, tanpa aba-aba mereka langsung melakukan perang cendol dawet.Tidak ada dendam atau benci diantara mereka, melainkan tawa riang bersama. Karena tujuan tradisi tersebut agar masyarakat setempat kembali ceria, yakni setelah kemarau panjang dan hujan segera turun ke bumi.
“Tujuan dari tradisi perang cendol ini, yakni memohon kepada Tuhan dengan menjalankan Salat Istisqa agar hujan segera turun. Karena, selama empat bulan terakhir, di Desa Kemiriombo ini belum turun hujan. Sedangkan, beberapa desa tetangga sudah diguyur hujan,”kata Kepala Desa Kemiriombo, Nur Wahyu.
Menurutnya, dampak kemarau yang terjadi selama empat bulan terakhir menyebabkan tanaman kopi yang merupakan komoditas unggulan masyarakat setempat banyak yang mati. Selain itu, Selain itu, ketersedian air bersih bagi masyarakat yang ada di tujuh dusun di Desa Kemiriombo juga semakin menipis.
“Akibat musim kemarau saat ini, banyak pohon kopi milik warga yang mati. Selain itu, debit air bersih dari sejumlah sumber air juga menyusut,”ujarnya.
Ia menambahkan, cendol dawet yang digunakan dalam tradisi tersebut merupakan tradisi turun temurun dan cendol sebagai salah satu sarana yang harus digunakan untuk memohon agar hujan segera turun.
Menurutnya, masyarakat Desa Kemiriombo melakukan tradisi perang cendol terakhir saat musim kemarau yang panjang di tahun 2018 silam.
Wiwik, salah satu warga Dusun Gabug, Desa Kemiriombo mengaku senang bisa mengikuti tradisi perang cendol dawet, meskipun seluruh tubuhnya basah terkena lemparan cendol dawet dari peserta lainnya.
“Meskipun seluruh basah karena terkena lemparan cendol dawet, saya senang dan berharap agar hujan segera turun dan menyirami tanaman kopi yang banyak mengering,” katanya.
Ia menambahkan, cendol dawet yang dijadikan sarana tradisi tersebut, harus cendol dawet yang dibuat oleh masing-masing keluarga dan tidak boleh cendol dawet yang dibeli dari penjual. W. Cahyono