blank
Jude Bellingham. Foto: realmadrid

blankOleh: Amir Machmud NS

// pesona apa yang dia bawa ke La Liga?/ kelembutankah, atau kegagahan sepak bola/ Bellingham, kau datang/ anak langka dengan citarasa yang berbeda//
(Sajak “Jude Bellingham”, 2023)

ANDA mungkin telah lupa terhadap nama yang satu ini: Kevin Keegan. Atau boleh jadi tak mengenal bintang masa silam Inggris itu sebaik yang Anda tahu tentang para jagoan masa kini: Raheem Sterling, Jadon Sancho, Jack Grealish, atau Bukayo Saka.

Menderetkan nama bintang-bintang Inggris itu rasanya pantas dilakukan sebelum kita mengulas “penyihir” yang sedang menjadi bahan pembicaraan: Jude Victor William Bellingham alias Jude Bellingham. Dia permata Inggris paling berharga yang kini bermain dan menyinari Real Madrid di La Liga.

Dalam deret masa silam lainnya, mungkin pula Anda kurang detail tentang Paul Gascoigne dan Joe Cole. Dahulu, keduanya adalah “penyihir” yang menjadi pembeda, bakat langka dengan karakter yang tidak seperti umumnya rata-rata pemain Inggris Raya.

Gascoigne adalah pusatnya, sedangkan Cole — yang tumbuh dalam dasawarsa setelahnya — pernah menyandang predikat sebagai “New Gascoigne”, julukan yang juga sempat disematkan kepada Jack Grealish, gelandang internasional Inggis yang bermain untuk Manchester City, dengan teknik langka menyerupai Gazza.

Mungkin tak berlebihan menyebut nama-nama itu sebagai “bintang Inggris yang mem-Brazil”, atau “talenta berteknik Amerika Latin yang tumbuh di pelataran Eropa”.

Keegan, The Mighty Morse, pada akhir dasawarsa 1970 atau awal 1980 pernah begitu identik dengan Hamburg SV. Impresivitasnya bersama klub Bundeliga itu menghadirkan anugerah Pemain Terbaik Eropa, trofi Ballon d’Or 1978-1979. Ketika itu, rekaman pertandingan Liga Jerman dapat disimak di TVRI setiap hari Minggu.

Bakat terbesar Inggris pasca-Keegan, tak pelak lagi adalah Paul “Gazza” Gascoigne. Gazza punya teknik istimewa dan personalitas, yang menjadikannya pusat perhatian di Piala Dunia 1990. Pengaruh kehidupan yang alkoholik, menjadikan namanya menjadi tak sebesar Bobby Charlton atau George Best sebagai peman-pemain top Britania Raya.

Dengan kapasitas teknik kelas satu, Gazza terkendala oleh temperamen, baik di dalam maupun di luar lapangan. Di luar kebengalannya, Anda tak akan bosan menyaksikan video aksi-aksi berkelas “Si Badut” itu dari arena Piala Dunia 1990 dan Euro 1996.

Dalam rentang angkatan berikutnya, Raheem Sterling, Jadon Sancho, dan Bukayo Saka adalah para winger alamiah dengan gocekan bola yang membedakan dari rata-rata pemain Inggris yang berkarakter kick and rush. Mereka punya dribel dengan lentik goyangan mengecoh, meliuk-liuk.

Sterling yang berdarah Jamaika meroket bersama Liverpool sebelum memuncak di Manchester City. Sayang, sayap dengan dribel indah ini seperti tenggelam bersama Chelsea, padahal sebelumnya tak pernah absen menjadi andalan Tim Tiga Singa.

Sementara itu, Jadon Sancho, yang sekarang sedang bermasalah dengan Erik ten Hag di Manchester United, tumbuh besar di Borussia Dortmund. Gerakannya mengiris sayap terkesan “liar”, mirip dengan gaya Neymar Junior. Menurut saya, merupakan kesalahan besar bila MU gagal memanfaatkan jasanya, apalagi hanya karena persoalan friksi komunikasi.

Bukayo Saka merupakan aset timnas dan Arsenal. Pelatih nasional Gareth Southgate mentandemkan Saka dan Jude Bellingham sebagai sepasang striker muda yang ditakuti lawan. Dengan kombinasi Marcus Rashford atau Harry Kane, Saka dan Bellingham menghadirkan potensi gol yang ideal.

Southgate mendapatkan Bellingham di saat yang tepat, sama seperti pelatih Real Madrid Carlo Ancelotti yang menemukan pengganti Toni Kroos dan Karim Benzema. Bellingham sama baiknya dioperasikan dalam skema gelandang maupun striker.

Satu hal penting lain, bagi Don Carlo, “Dia bukan tipe pemain yang larut oleh popularitas dan puja-puji. Dia akan berkembang alamiah dan matang”.

“Sihir” Antitesis
Satu tipe dengan Keegan, Gazza, Cole, Sterling, Sancho, dan Saka, Jude Bellingham yang lahir di Stourbridge, Inggris, pada 29 Juni 2003 hadir bagai “penyihir” antitesis sepak bola Inggris. Karakter bermainnya berbeda dari umumnya pesepak bola Britania.

Kontrol bolanya tenang, tidak meledak-ledak. Bellingham selalu berpikir untuk tim. Dengan determinasi tinggi, dia taktis memosisikan diri untuk menerima bola, lalu dengan kreativitasnya mengirim umpan kunci.

Klub raksasa Bundesliga Borussia Dortmund yang fasih memoles pemain muda, membawa dan membesarkan Jude Bellingham yang masih 17 tahun di Signal Iduna Park.

Pelatih Marco Rose membentuk Bellingham sebagai pembeda. Selain dua kali membawa Dortmund finis di peringkat tiga besar Bundesliga, dia juga memiliki catatan manis di Liga Champions. Menjalani debut pada usia 17 tahun dua bulan dan 16 hari dalam laga melawan Lazio (20 Oktober musim 2020/21), dia mencetak rekor pemain Inggris termuda debut di Liga Champions, mengalahkan rekor Phil Foden.

Rekor lain dia catat saat melawan Manchester City. Dia melesakkan gol indah, dan itu juga rekor pemain termuda yang mencetak gol di fase gugur Liga Champions. Dia hanya di bawah Bojan Krkic.

Bellingham menjadi pemain kedua dari Inggris dan Jerman yang membukukan lebih dari 9 laga di Liga Champions saat belum genap 18 tahun. Sebelumnya tercatat nama Youri Tielemans. Bersama Dortmund, ia menjadi pemain termuda kedua dengan 50 penampilan di Bundesliga. Dia dianugerahi Goal of the Month Bundesliga pada Oktober 2021, plus kandidat Golden Boy 2022.

Nikmatilah aksi-aksi wonderboy itu pada setiap akhir pekan. La Liga memang tidak lagi punya magnet sedahsyat Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo, namun kini Madridistas selalu menanti pertunjukan Jude Bellingham, “penyihir” dengan tampilan antitesis dari karakter sepak bola Inggris.

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id, Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah