blank
Pj Bupati Kudus Bergas C Penanggungan saat membuka tirai dalam peluncuran buku novel 'Sang Tandak' karya Prayitno. foto: Ali Bustomi

KUDUS (SUARABARU.ID) – Penjabat (Pj) Bupati Kudus Bergas C. Penanggungan memberikan apresiasinya atas kehadiran novel yang mengangkat cerita berlatar sejarah Kabupaten Kudus di masa kolonial Belanda karya Prayitno. Hal itu dikatakannya saat menghadiri Peluncuran dan Bincang Buku ‘Sang Tandak’ yang bergenre sastra di Sidji Coffee, Desa Getaspejaten, Jati, Rabu (27/9) malam.

“Apresiasi atas kehadiran buku ini, karya yang sangat luar biasa dan akan terus terkenang,” katanya.

Bergas berharap dengan kehadiran buku ini dapat memperkaya wawasan masyarakat terhadap sejarah Kabupaten Kudus di masa Kolonial Belanda. Dirinya juga ingin penulis lainnya dapat terinspirasi untuk menghasilkan karya-karya yang luar biasa seperti karya penulis senior ‘Sang Tandak’.

“Saat ini buku yang menceritakan tentang Kabupaten Kudus di masa lampau masih jarang ditemui, apalagi dengan genre sastra seperti ini. Saya ingin banyak penulis yang terinspirasi atas launchingnya buku ini,” harapnya.

Menurutnya, buku berlatar belakang sejarah Kabupaten Kudus di masa kolonial Belanda patut dijadikan teladan karena menceritakan masa kepemimpinan Bupati di masa itu dapat berjalan meski dengan berbagai kebudayaan yang ada didalamnya.

“Kudus adalah daerah yang memiliki berbagai karakter kebudayaan yang berbeda, namun dengan perbedaan itu tetap dapat bersatu,” jelasnya.

Sementara itu, Ketua Komite Ekonomi Kreatif (Ekraf) Kudus, Valerie Yudistira menyambut hangat kehadiran Pj. Bupati Kudus pada kegiatan Peluncuran dan Bincang Buku ‘Sang Tandak’.

Dirinya menerangkan bahwa kehadiran Forum Kamis Legen (Kalen) merupakan cikal bakal terbentuknya ruang untuk kajian bidang filsafat, sejarah, maupun sastra yang telah melahirkan seniman kenamaan di Kabupaten Kudus. Forum ini telah berdiri pada tahun 2011 dan telah berbadan hukum 4 tahun lalu.

“Forum Kalen menjadi wadah silaturahmi meskipun secara kecil-kecilan. Namun demikian, forum ini menjadi ruang diskusi bagi pecinta filsafat, sejarah, maupun sastra,” terangnya.

Sebagai informasi, Kegiatan Peluncuran dan Bincang Buku ‘Sang Tandak’ juga dihadiri oleh Kepala Disbudpar Kudus, Ketua Forum Kamis Legen (Kalen) beserta anggota, penulis novel ‘Sang Tandak’, Rektor UMK, Ketua Komite Ekraf Kudus, pembincang novel, serta tamu undangan lainnya.

Lingkar Kekuasaan Perdagangan Candu

Buku novel berjudul “Sang Tandak” adalah karya Prayitno, seorang jurnalis senior asli Kudus. Novel Sang tandak menambah daftar karya kasusastraan yang hadir dari Kota Kudus.

Novel ini bercerita tentang seorang penari tandak (tayub/ronggeng) era kolonial asal Surakarta bernama Adjeng Taroe Resmi yang tampil untuk menari di Pendapa Kabupaten Kudus pada 5 Juni 1874, saat Bupati Raden Mas Toemenggoeng Ario Soerio Poesponegoro, menyunatkan anaknya, Raden Mas Soewitho.

Berawal dari itu, ketenaran Adjeng semakin menyeruak hingga ke pelosok tanah Jawa. Sihir magis liukan tubuh Adjeng saat menari, menggugah hasrat kelelakian dari berbagai kalangan baik priyayi, pejabat kolonial Belanda, saudagar Cina hingga  siapapun yang melihatnya. Bahkan, Bupati Kudus saat itu pun tak luput dari daya tariknya sehingga mengambil Adjeng sebagai garwa ampil atau selir.

Selayaknya novel sastra, kisah ini dibumbui berbagai cerita yang menggambarkan bagaimana Adjeng direkrut menjadi mata-mata kolonial untuk membongkar skandal perdagangan candu di lingkaran kekuasaan pribumi saat itu. Akhir cerita juga cukup tragis  saat Adjeng ditemukan tewas di tepian sawah di Kawasan Demak.

Namun kritikan tajam tak lepas atas karya ini. Hasan Aoni, sebagai pembincang mengatakan Novel Sang Tandak ini akan memaksa pembaca untuk membandingkan dengan novel sastra dengan tema hampir mirip yakni ‘Ronggeng Dukuh Paruk’ karya Ahmad Tohari.

Hasan menambah, meski kisah rekaan namun sang penulis dinilai kurang jeli dalam memberikan alasan logis dalam beberapa titik kisah yang ditampilkan.

“Setidaklogisnya sebuah karya novel, tetap harus memperhatikan reason atas kisah yang ditampilkan. Dan satu lagi, dramatisasi dari beberapa peristiwa penting juga tidak tersampaikan dengan baik,”tandasnya.

Hasan juga memberi perhatian lebih kisah Sang Tandak ini dengan situasi perdagangan Candu di era itu. Yang mana bisnis candu merupakan bisnis yang legal dari otoritas yang ada saat itu. Namun, tidak ada gambaran bagaimana konflik social yang terjadi mengingat Kawasan Kudus juga berkembang kaum santri yang berada di Kawasan Kudus Kulon.

Dr Kanzunuddin, akademisi dan sastrawan Universitas Muria Kudus sebagai pembincang lainnya, mengatakan sang penulis cukup luwes mendeskripsikan setting lokasi dan waktu dalam ceritanya. Background penulis yang notabene jurnalis, cukup memberi warna bagaimana kisah ini dibangun melalui deskripsi yang detil atas setting waktu dan tempat.

Meski sepenuhnya karya fiksi, namun Prayitno dengan luwes membungkus kisah ini dengan penggambaran situasi yang didasari hasil riset tentang sejarah di Kota Kudus. Setting lokasi seperti nama tempat, desa hingga waktu juga didasari kajian Pustaka dari berbagai buku atau dokumen yang ada.

Ali Bustomi