blank
Ilustrasi panen padi. Foto: suxco/pixabay

Oleh: MG Westri Kekalih Susilowati

blankKOMPLEKSITAS permasalahan ketahanan pangan mencakup seluruh aktivitas ekonomi, yaitu produksi, distribusi, dan konsumsi. Secara bersama ketiga aktivitas ekonomi tersebut menentukan kondisi pilar-pilar ketahanan pangan, yang mencakup ketersediaan, keterjangkauan, pemanfaatan, dan kestabilan.

Kekuatan pilar-pilar ketahanan pangan akan menjadi jaminan terpenuhinya kebutuhan pangan bagi masyarakat, yang tercermin pada pangan tersedia secara cukup, aman, merata, dan terjangkau.

Masalahnya, diskusi mengenai ketahanan pangan lebih sering “hanya” melihat pada produksi dan distribusinya, namun kurang menyentuh aktivitas konsumsinya.

Dalam studinya FAO (2012) memperkirakan terdapat 1,02 miliar orang yang rawan pangan pada tahun 2011. Untuk mencegah terjadinya rawan pangan, sampai dengan tahun 2050, produksi pangan global harus meningkat setidaknya 70 persen.

Indonesia tidak terkecualikan sebagai negara yang menghadapi ancaman rawan pangan. Dalam siaran persnya tanggal 07 Juli 2023, Badan Metorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan bahwa, ancaman krisis pangan sebagai dampak perubahan iklim yang memicu gagal panen dan gagal tanam, bukan isapan jempol.

Dalam hal produksi, masalah yang dihadapi antara lain kerusakan lahan, air, dan lingkungan, akibat perubahan iklim yang menyebabkan penurunan produksi dan ketidakpastian panen.

Selain perubahan iklim, beberapa permasalahan terkait dengan sistem produksi yang dihadapi antara lain (www.bkp.deptan.go.id), skala usaha kecil dengan modal kecil, penerapan teknologi pertanian yang belum optimal, penataan produksi belum berdasarkan keseimbangan permintaan dan penawaran, serta sistem pemasaran hasil pertanian yang belum efisien.

Ketidakefisienan sistem produksi menyebabkan, produktivitas dan kualitas hasil pertanian yang belum dapat optimal. Ditambah dengan permasalahan distribusi, yakni pasokan pangan di tingkat rumah tangga sering terhambat, karena keterbatasan jaringan transportasi dan adanya produk pangan yang tidak dapat dimakan, harga pangan menjadi cenderung fluktuatif, dan keamanan pangan menjadi kurang terjamin.

Neraca Pangan Nasional dan Sasaran Pola Pangan Harapan
Dalam prognosa neraca pangan 2023, Badan Pangan Nasional (Bapanas) menjamin bahwa, ketersediaan sebagian besar bahan pangan mencukupi kebutuhan nasional pada 2023.

Prognosa Neraca Pangan Nasional mencakup 15 komoditas pangan pokok strategis, di antaranya beras, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai besar, dan beberapa komoditas strategis lainnya.

Menurut Prognosa Neraca Pangan Nasional yang dibuat oleh Badan Pangan Nasional, hingga akhir Desember 2023, Indonesia masih akan mengalami surplus pada beberapa komoditas.

Beras diperkirakan mengalami surplus 5,87 juta ton dan merencanakan impor 433.317 ton. Minyak goreng diperkirakan surplus 896.154 ton, daging ayam ras 689.388 ton, telor ayam ras 241.986 ton, bawang merah 118.619 ton, cabai rawit 26.966 ton, dan cabai besar 16.393 ton.

Sementara itu, ikan, dagung lembu, bawang putih, dan kedelai diperkirakan defisit. Masing-masing defisit 34.143 ton, 254.429 ton, 489.633 ton, dan 2.255.375 ton. Guna menutup defisit komoditas-komoditas tersebut, pemerintah berencana mengimpor ikan sebanyak 366.453 ton, daging lembu 318.409 ton, dan kedelai 2,56 juta ton.

Mengenai Pola Pangan Harapan (PPH) atau Desirable Dietary Pattern (DDP), merupakan susunan keragaman pangan yang didasarkan pada sumbangan energi dari kelompok pangan utama, pada tingkat ketersediaan maupun konsumsi pangan.

Perhitungan PPH dimaksudkan untuk, mengidentifikasi kondisi ketersediaan pangan yang mencakup kuantitas maupun keragaman jenis pangan, yang dinyatakan dalam skor PPH.

Terdapat sembilan kelompok komoditas dalam perhitungan PPH, yaitu kelompok padi-padian, umbi-umbian, pangan hewani, minyak dan lemak, buah/biji berminyak, kacang-kacangan, gula, sayur dan buah, serta lain-lain.

Sasaran PPH yang ingin dicapai pemerintah untuk masing-masing kelompok barang tersebut secara berurutan pada 2023 dan 2024 adalah (1) padi-padian 55,2 dan 53,7, (2) umbi-umbian 4,1 dan 4,6, (3) pangan hewani 11,7 dan 11,8, (4) minyak dan lemak 10,9 dan 10,7, (5) buah/biji berminyak 2.0 dan 2,2, (6) kacang-kacangan 3,9 dan 4,1, (7) gula 4,3 dan 4,4, (8) sayur dan buah 5,6 dan 5,7, serta lain-lain 2,7 dan 2,7.

Sandera Pola Konsumsi
Pola makan (food pattern) adalah kebiasaan memilih dan mengkonsumsi bahan makanan oleh sekelompok individu. Pola makan dapat memberi gambaran mengenai kualitas makanan masyarakat.

Pola makan pada dasarnya merupakan konsep budaya bertalian dengan makanan yang banyak dipengaruhi oleh unsur sosial budaya yang berlaku dalam kelompok masyarakat itu. Seperti nilai sosial, norma sosial dan norma budaya bertalian dengan makanan, apa yang dianggap baik dan tidak baik.

Meskipun banyak orang yang telah mengonsumsi makanan pokok non beras, namun beras tetap menjadi pilihan utama. Makanan pokok non beras hanya dikonsumsi pada waktu tertentu, terutama di pagi hari, tetapi masih dianggap sebagai pelengkap dan sering digunakan karena faktor darurat, karena praktis.

Beras juga masih menjadi simbol status sosial tertinggi, dan merupakan makanan pokok yang tidak tergantikan, meskipun masyarakat umumnya mendukung makanan pokok yang tidak terbuat dari beras (Kekalih, MG Westri, Widuri K, Retno YW, 2013).

Sebagaimana disebutkan dalam Buku Putih 2005–2025 Bidang Ketahanan Pangan, pola konsumsi pangan yang tidak mempertimbangkan keragaman pangan, menjadi salah satu masalah utama di Indonesia.

Ketidaktahuan dan keterjangkauan masih menjadi hambatan dalam upaya diversifikasi pangan. Pola konsumsi pangan di Indonesia cenderung tergantung pada komoditas pangan beras atau padi.

Pola konsumsi pangan masyarakat tetap bergantung pada beras, dengan 139,15 kg per tahun. Makanan pokok favorit masyarakat Indonesia masih beras. Akibatnya, kebiasaan bergantung pada beras akhirnya muncul ungkapan “rasanya belum makan, jika belum makan nasi”, atau bahwa pangan pokok lain masih ditempatkan sebaga “camilan saja”.

Konsumsi makanan pokok beras, mencerminkan status sosial yang tinggi. Inilah yang menyebabkan ketahanan pangan tersandera. Pola konsumsi pangan yang tergantung pada padi, merupakan pola konsumsi yang rawan. Karena akan mengakibatkan penyempitan spektrum pilihan komoditas, sehingga laju alih fungsi lahan sawah ke non sawah pun akan sulit dikendalikan.

Apa yang harus dilakukan?
Mindset Indonesia kaya, adalah modal yang kuat, karena sesungguhnya memang benar, Indonesia kaya dengan aneka ragam potensi pangan. Upaya terbebas dari sandera pola konsumsi harus melibatkan aspek kognisi, afeksi maupun konasi masyarakat sebagai komsumen

Dari segi kognisi, menginformasikan dan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang pentingnya mengubah perilaku konsumsi dari beras yang merupakan makanan pokok, menjadi produk selain beras dan gandum (diversifikasi pola makan).

Secara khusus, pangan dapat diproduksi secara lokal dengan memperkuat persepsi, bahwa banyak jenis pangan yang berbeda dapat digunakan sebagai makanan pokok dan memiliki nilai gizi yang sebanding dengan beras.

Selain itu, meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya ketahanan pangan Nasional, yang akan bermuara pada ketahanan Nasional. Informasi yang perlu disampaikan kepada masyarakat adalah, mengenai perbedaan makanan pokok Indonesia selain beras dan gandum, cara pengolahannya, kandungan gizinya, dan lain-lain.

Pada aspek afeksi, mendorong masyarakat mempunyai sikap positif terhadap diversifikasi pangan berbasis bahan pangan Nasional, khususnya pangan pokok selain beras dan gandum. Sikap masyarakat terhadap konsumsi makanan pokok selain nasi dan gandum adalah positif.

Mendorong masyarakat untuk mengkonsumsi makanan pokok selain nasi, dengan cara mempromosikan berbagai manfaat makanan pokok alternatif di berbagai iklan layanan masyarakat, dan menerapkan akses dini dengan membentuk kebiasaan mengkonsumsi bahan makanan alternatif.

Hal lain yang harus diperhatikan adalah, niat dan penolakan. Hal ini penting dalam menentukan niat berperilaku untuk mengonsumsi makanan pokok selain nasi.

Oleh karena itu, perlu adanya internalisasi pengetahuan tentang manfaat makanan pokok selain nasi, agar setiap orang tua mengajarkan dan meminimalisasi budaya konsumsi makanan non-beras, dengan cara menyajikannya dalam menu keluarga sejak dini.

MG Westri Kekalih Susilowati (Dosen FEB Unika Soegijapranata Semarang)