MUNGKIN belum banyak yang tahu, bahwa Kabupaten Kudus ternyata memiliki kawasan yang menjadi situs purbakala. Kawasan itu ada di Patiayam terletak Dusun Kancilan, di Desa Terban, Kecamatan Jekulo, Kabupaten Kudus, Jawa Tengah.
Meski tidak selengkap kawasan Sangiran, tetapi jejak sejarah purbakala di Kudus memang sangat menarik. Di kawasan Patiayam ditemukan 1.500-an fosil, yang kini tersimpan di Museum Purbakala Patiayam.
Sekitar 1.500 fosil yang ditemukan di Patiayam dan kini disimpan di rumah -rumah penduduk. Situs Patiayam merupakan bagian dari Gunung Muria. Luasnya 2.902,2 hektar meliputi wilayah Kudus dan beberapa kecamatan di Pati. Situs Patiayam merupakan bagian dari Gunung Muria, di tempat ini terdapat makam dan Masjid Sunan Muria. Jaraknya hanya 18 km dari kota Kudus.
Untuk menjaga benda-benda purbakala itu, kemudian dibangunkan Museum Purbakala mempunyai gedung baru. Museum juga makin berkembang, dan kini ada gedung baru di sebelah gedung museum lama.
Bentuknya sama persis terlihat seperti bangunan kembar. Fosil dipajang dan dapat dilihat oleh pengunjung. Kondisi fasilitas kini mulai sudah membaik, Museum ini memiliki dua lantai yang megah yang telah menjadi daya tarik wisata bagi pelajar dan penduduk setempat.
Situs purbakala Patiayam mempunyai kemiripan dengan situs purba Sangiran, Trinil, Majekerto, dan Nganjuk. Keunggulan komparatif situs Patiayam adalah fosilnya yang utuh dikarenakan peimbunan adalah abu vulkanik halus dan pembentukan fosil berlangsung baik.
Di sekitarnya tidak terdapat sungai besar sehingga fosil ini tidak pindah lokasi karena erosi. Keadaan ini berbeda dengan situs purbakala lainnya, misalnya fosil ditemukan pada endapan kotoran hewan.
Tidak hanya penduduk lokal saja, wisatawan asing maupun mancanegara juga mengunjungi museum ini. Bangunan museum ini sudah ada sejak belasan tahun yang lalu. Dan saat ini, fosil-fosil yang ditemukan telah disimpan dan diawetkan di museum ini.
Di antaranya bagian tulang banteng, kepala kerbau, tulang badak, tulang rusa, tulang harimau, gigi sapi, tulang buaya dan tulang lainnya. Di museum ini juga terpajang replika fosil stegodon, gajah purba yang pernah hidup di kawasan ini.
Situs Patiayam merupakan salah satu yang terlengkap. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya manusia purba (Homo erectus), fauna vertebrata invertebrata. Ada juga alat batu manusia dari budaya manusia purba yang ditemukan di lapisan tanah yang utuh yang berumur setidaknya satu juta tahun.
Cagar Budaya
Sejak 22 September 2005, Situs Patiayam diterapkan sebagai cagar budaya oleh Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Tengah. Sebelumnya, situs ini telah lama dikenal sebagai salah satu situs manusia purba (Hominid) yang ada di Indonesia. Fosil gading gajah purba Stegodon trigonecephalus menjadi favorit Patiayam.
Rangkaian penelitian telah dilakukan di situs ini, mulai dari tahun 1931 saat peneliti asal Belanda Van Es menemukan sembilan jenis fosil hewan vertebrata. Berikutnya hingga tahun 2007 berbagai penelitian dilakukan dan ditemukan 17 spesies hewan vertebrata dan tulang belulang binatang purba antara lain: Stegodon trigonochepalus (gajah purba), Elephas sp (sejenis gajah), Rhinocecos sondaicus (badak), Bos banteng (sejenis banteng), Crocodilus, sp (buaya), Ceruus zwaani dan Cervus atau Ydekkeri martim (sejenis Rusa) Corvidae (Rusa), Chelonidae (Kura-Kura), Suidae (babi hutan), Tridacna (kerang laut), Hipopotamidae (kuda nil). Temuan fosil-fosil di Patiayam memiliki keistimewaan daripada fosil temuan di daerah lain karenakan sebagian situs yang ditemukan bersifat utuh.
Beberapa jejak-jejak budaya yang ditemukan antara lain perkakas batu, kapak genggam, serut, dan kapak perimbas yang terbuat dari gamping kersikan. Dari situlah dapat disimpulkan bahwa di zaman dulu, manusia purba yang tinggal di Patiayam bermata pencaharian sebagai pemburu binatang.
Perlu diketahui bahwa di pegunungan Patiayam juga terdapat sebuah gua yang bernama Gua Patiayam atau Gua Dalem. Banyak masyarakat dari dalam dan luar daerah yang berziarah ke Goa Dalem.
Untuk memasuki goa kita dapat masuk dari Desa Terban dan Desa Gondoharum (RW IV Desa Kaliwuluh) dengan menggunakan kendaraan bermotor kemudian berjalan melewati hutan dan jalur perjalan kaki.
Dinita Charisa Ludviana-Mg