Oleh: Amir Machmud NS
// mereka datang silih pergi/ membawa cercah harapan/ atau membenamkannya ke petang kelam/ nantikan pula/ ada rekah cahaya/ menyemburat dari langit Manahan…//
(Sajak “Generasi Emas”, 2023)
DARI Stadion Manahan, angin harapan berembus kencang. Langit Kota Solo bagai membenderang memayungi semesta negeri, ketika gol demi gol ke gawang Taiwan dan Turkmenistan dibukukan oleh Pratama Alif Arhan dkk.
Telah hadirkah generasi emas sepak bola kita?
Begitulah ketika anak-anak ajaib menyulap suntuk penantian menjadi gemuruh harapan. Bocah-bocah luar biasa yang mencahayai kegelapan, yang sejauh ini lebih memurungkan lorong panjang tim nasional Indonesia. Ada buncah yang membuat hati masyarakat sepak bola merekah.
Putaran final Piala Asia U23, kami datang!
Tak Anda lihatkah: di pangkal lorong, Erick Thohir dan Shin Tae-yong tekun mengawal dan menepis udara panas yang tak henti meniupkan rupa-rupa aral?
Saya mencoba menangkap sisi yang boleh jadi tak terbaca oleh jeli mata umum. Diam-diam ada kerlap sinar. Energitas Ketua Umum PSSI dan passion coach tim nasional itu membentuk duet serasi dalam satu tarikan irama orkestrasi.
Dalam konsep etos kegigihan, keduanya berada di trek tepat untuk menggeret kemajuan-kemajuan Garuda Muda.
Terlepas kita sedang bicara tentang profesionalitas hubungan kerja, tampaknya Erick dan STY memang ber-chemistry ala “tumbu oleh tutup”. Kolaborasi visi dari ide yang sama, konsep yang sama, saling percaya, dan langkah pun terayun tak berbeda.
Level Vs Trofi
Meloloskan tiga tim ke putaran final Piala Asia di panggung senior, U23, dan U20 tentu bukan pencapaian “kaleng-kaleng”. Hasil-hasil dari FIFA Matchday yang dilakoni tim STY juga memperlihatkan realitas “kenaikan level”. Bukan hanya peningkatan peringkat FIFA, tetapi juga bentuk mutu bermain.
Problem realistis yang dihadapi pelatih asal Korea Selatan itu hanya soal raihan trofi. Sejak datang tahun 2020, dia belum membukukan satu pun piala. Coach Shin bagai berdiri di antara pencapaian level dan impian trofi.
Boleh jadi akan ada yang menegaskan, trofi adalah parameter level, seperti yang telah dikontribusikan oleh Indra Sjafri, Fakhri Husaini, dan Bima Sakti yang bahkan sempat memicu polemik soal “local pride” pada 2022. Akan tetapi tak sesederhana itu pula menilai capaian level, yang tentu terkait dengan karakter, mentalitas, dan konfidensi.
Bukankah sama-sama kita saksikan, Rizky Ridho dkk yang menundukkan Taiwan 9-0 dan Turkmenistan 2-0 di Stadion Manahan, Solo tampil dengan performa apik dan kepercayaan diri yang tinggi? Terlepas dari masih adanya sejumlah celah kekurangan, aksi-aksi para anak muda itu memperlihatkan pergerakan signifikan dalam kualitas.
STY juga mampu mengeksplorasi kemampuan indvidu pemain untuk membangun level permainan secara kolektif.
Serangkaian bulan sibuk menanti Shin Tae-yong mulai dari Piala Asia U20 pada tahun ini, Piala Asia Senior, dan Piala Asia U23 pada 2024.
Kini dia digelisahkan oleh kemungkinan; para pemainnya yang memperkuat klub-klub asing tidak memperoleh izin memenuhi panggilan tim nasional, karena Piala Asia tidak termasuk event kalender FIFA.
Padahal dengan tim yang begitu menjanjikan di Solo — yang boleh dibilang sebagai golden generation –, STY yakin bisa melakoni Piala Asia U23 2024 dengan buncah kuat harapan.
Produk “Sentuhan” STY
Kini sentuhan STY — minus capaian trofi — makin dirasakan menghasilkan kolektivitas tim yang punya karakter dan daya juang. Tantangan ke depan, selain event Piala AFF di semua level, setidak-tidaknya membentang tiga putaran final Piala Asia U20, U23, dan senior.
Transformasi karakter, mentalitas, konfidensi, dan performa taktik tiga tim STY bakal menghadirkan “positioning“-nya: tetap berdiri dalam kesenjangan trofi dan level, atau menghasilkan kedua-duanya sebagai parameter keberadaannya di Indonesia…
— Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah —