Ketua Tim Peneliti, Dr. dr. SA. Nugraheni, M.Kes dalam sosialisasi Policy Brief “Posyandu Satelit” sebagai alternatif model pemberdayaan masyarakat dalam deteksi dini dan pencegahan stunting. Foto: Ning S

Ia menyebut, Indonesia merupakan negara ke 5 dengan jumlah balita tertinggi mengalami stunting tingkat dunia, dengan jumlah kasus stunting 30,8%, wasting 10,2% dan overweight 8,0% (RISKESDAS 2018).

Rekomendasi penyelenggaraan Posyandu Satelit

Training of Trainer yang dilakukan kepada kader kesehatan, nakes puskesmas, dan
perangkat desa serta kecamatan terbukti dapat meningkatkan pengetahuan terkait
stunting, posyandu, dan skill komunikasi dengan baik.

Meningkatnya kemampuan responden ToT tersebut diharapkan mampu memberikan keberlanjutan ditandai dengan adanya peningkatan pengetahuan dan kemampuan aktivis RT/Dawis dalam mengukur status gizi. Kemampuan aktivis RT/Dawis merupakan suatu hal yang penting dalam pencegahan stunting, sehingga dapat melakukan deteksi dini stunting.

Nugraheni berharap, Poyandu tetap dilaksanakan dengan pengadaan PMT dari dana yang tersedia atau ditambah dana dari swadaya masyarakat. Pos Satelit dapat digunakan untuk pendampingan pada balita kurang gizi, sehingga pada posyandu bulan berikutnya berat badan balita bisa meningkat.

Selain itu, Pos Satelit bisa diadakan apabila balita tidak hadir pada kegiatan posyandu, guna mendukung kegiatan posyandu setiap bulannya.

“Pos Satelit dapat dimanfaatkan sebagai regenerasi kader, dimana pengadaan pendampingan balita gizi kurang oleh ‘kader baru’ dengan bantuan dari kader Posyandu. Sehingga kedepannya ada kader baru yang sudah terlatih untuk kegiatan posyandu,” terangnya.

Menurutnya, dalam rangka regenerasi kader, perlu adanya sosialisasi dari pemerintah kepada warga tentang pentingnya program zero stunting. Sehingga warga peduli dan bisa berkontribusi dengan cara menjadi kader posyandu.

Ia juga berharap adanya anggaran untuk reward kepada kader Posyandu, sehingga bisa meningkatkan minat warga untuk menjadi kader.

Ning S