blank
Kapten Timnas U23 Indonesia, Alfeandra Dewangga, mencoba menenangkan Ernando Ari, akibat kegagalannya menendang penalti di babak final Piala AFF U23. Foto: pssi

blankOleh: Amir Machmud NS

// penalti itu hati/ kau tak kuasa melawan kecemasan itu, bukan?/ permainan ini sungguh menakutkan/ o, bola bukan lagi teman/ tak gampang dia dirayu dan dikendalikan//
(Sajak “Adu Penalti”, 2023)

SUDAH sepekan kemarin berlalu, namun tangis hati Ernando Ari masih terasa menyayat pikiran. Saya terbayangi wajahnya yang kelu dengan mata berkaca-kaca. Kiper yang selalu tampil penuh konfidensi itu merasakan betul batas tipis antara pahlawan dan pecundang.

Dialah satu-satunya eksekutor penalti Garuda Muda Indonesia yang gagal membobol gawang Vietnam. Tendangannya ditahan kiper Quan Van Chuan. Padahal pada menit ke-33 babak reguler, dia menjadi pahlawan, dengan gemilang mementahkan penalti Nguyen Quoc Viet.

Pelukan kiper lawan yang mencoba menghibur tak mampu menepis gulana kekalahan di final Piala AFF U23 di Stadion Rayong, Thailand. Dan, Garuda Muda pun gagal memberi trofi pertama untuk pelatih Shin Tae-yong yang telah melatih tim nasional Indonesia sejak 2020.

Kekalahan selalu menyakitkan. Kekalahan lewat drama penalti terasa lebih memilukan. Ernando Ari merasakan kemelut hati seperti yang dirasakan oleh para pendahulunya, baik di tim nasional maupun dalam kisah-kisah sejarah sepak bola dunia.

Menepis Inferioritas
Kemenangan gemilang tim Indra Sjafri di Piala AFF U19 2013 banyak dipandang memupus barrier inferioritas sepak bola kita di hadapan dua penguasa Asia Tenggara: Thailand dan Vietnam.

Tak hanya dengan dua kekuatan utama itu, bahkan melawan Malaysia pun kita sering keteteran.

Maka sukses meraih medali emas SEA Games 2023 Kamboja dengan menundukkan Vietnam di semifinal dan Thailand di partai pamungkas, menjadi momen yang “sesuatu banget”. Arsiteknya, lagi-lagi Indra Sjafri.

Sayang, persiapan menuju Piala AFF U23 tidak ditopang oleh persiapan yang matang. Sejumlah klub enggan melepas pemain, antara lain diwarnai polemik bahwa Piala AFF tidak termasuk kalender FIFA. STY pun sempat merasa kesulitan untuk meracik skema terbaik, seperti kondisi yang dia hadapi dengan skuad yang tidak berkedalaman untuk partai final.

Bagaimanapun, di balik keterbatasan itu, performa Alfeandra Dewangga dkk tidak mengecewakan, walaupun sempat kalah 1-2 dari Malaysia dalam penyisihan grup. Laga semifinal dan final menyajikan permainan Garuda Muda yang gagah berani, tidak menampakkan inferioritas.

Maka pertanyaannya, hanya menepis kerendahdirian dalam disiplin profesionalkah produk utama yang “dihasilkan” oleh coach STY?

Dalam hal trofi, pelatih lokal Indra Sjafri, Fakhri Husaini, dan Bima Sakti lebih memberi bukti. Garis bawah “prestasi” Shin Tae-yong adalah meloloskan tim senior ke Piala Asia, juga memperbaiki peringkat FIFA dari sejumlah FIFA matchday.

Kenyataan belum adanya bukti trofi inilah yang sering disuarakan oleh sejumlah pihak sebagai titik kurang STY. Sama dengan ketika PSSI mengevaluasi kinerja Luis Milla, yang dari sisi permainan sejatinya mampu membentuk tim nasional yang enak dinikmati.

Kesempatan STY
STY masih diberi kesempatan untuk berkiprah dengan fokus membawa tim ke kualifiksi Piala Asia U23 2024, juga menaikkan peringkat FIFA. Untuk FIFA matchday melawan Turmenistan bulan ini, dia memberi kepercayaan kepada asisten utama Choi In-cheol menyiapkann tim di Surabaya.

Di luar masalah trofi yang belum terjangkau, warisan transformatif dalam disiplin dan cara hidup — termasuk mengelola konsumsi makanan — patut dijadikan kultur “sikap profesional” pemain kita.

Di ajang Piala AFF U23, kekalahan lewat adu penalti rasanya terlalu getir untuk dikenang. Pastilah STY merasakan kondisi yang sama dengan Ernando Ari: betapa drama itu memberi garis batas yang terlalu tipis antara pahlawan dan pecundang, antara bahagia dan air mata…

Amir Machmud NS; wartawan suarabaru.id dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah