“Pancasila ini juga tercermin di pemimpinnya: pemimpin harus punya nilai keuatamaan, arate. Bijaksana, tulus, berani, memiliki karakter, memiliki kebijaksanaan dan jiwa kemanusiaan serta totalitas untuk rakyat. Pemimpin harus punya, bukan hanya pengetahuan, tetapi etos, semangat kerja dan optimisme, serta dekat dengan rakyat,” katanya.
Pakar komunikasi politik ini juga mengajak peserta untuk menyebarkan pengetahuan menjadi pemilih yang cerdas ini kepada khayalak luas.
“Pakai media sosial, rebut ruang-ruang publik. Edukasi semua untuk memiliki literasi kebangsaan, kecerdasan dan penggunaan media. Kalau tidak, kita mudah dipengaruhi oleh hoaks dan persepsi. Kita jadi berpikir satu dimensi saja.”
Benny menyasar pada beberapa sebutan yang bersifat degradasi kepada orang-orang, dan diutarakan sebagai sebuah kritik.
“Coba, panggilan petugas partai. Lah, semua orang yang masuk partai dan punya partai pasti petugas partai, kepentingannya ke partai ada. Orang pun lupa bahwa pemimpin itu harusnya menjadi pelayan, menjadi ‘petugas’, karena esensialnya pemimpin adalah melayani siapapun yang dipimpinnya. Itu demokrasi,” imbuhnya.
“Orang-orang yang menyatakan mengkritisi, tapi tanpa argumen, malah nyinyir. Kritik itu seharusnya membawa perubahan dan memberi solusi, bukan menjelekkan saja.”
Di penghujung acara, budayawan itu menegaskan kembali bahwa masyarakat harus menjadi pemilih yang cerdas dan kritis.
“Kalau kita gagal, tidak jadi cerdas dan kritis dan memilih tanpa melihat-lihat dahulu, ya kita gagal. Harapan saya, jadilah pemilih yang kritis, dan rebut ruang publik untuk menyebarkan kekritisan dan kecerdasan tersebut. Terkhusus untuk tahun pemilu 2024 besok: Pilihlah pemimpin, baik daerah maupun pusat, yang dosanya paling kecil,” tutupnya.
wied