SEMARANG (SUARABARU.ID)– Kepemimpinan seorang perempuan di Indonesia bukanlah hal yang baru. Sejarah mencatat, di masa kerajaan Nusantara dan Kemerdekaan Indonesia, peran perempuan sangat besar. Hal ini karena, kepemimpinan sejatinya melekat pada person, bukan gender.
”Berdasarkan catatan sejarah bangsa ini, sesungguhnya perempuan Indonesia memiliki potensi yang melekat sebagai pemimpin,” kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat, dalam keterangan tertulisnya, Jumat (28/7/2023).
Pernyataan itu seperti yang disampaikannya, saat menjadi pembicara kunci secara daring, pada acara Indonesia Most Powerful Women Awards 2023, yang bertema ‘Leadership Beyond Gender’, yang digelar Herstory.co.id, Kamis (27/7/2023).
BACA JUGA: Tiap Bulan 50 PNS Pensiun, Bupati Minta Maksimalkan SDM
Menurut Lestari, pada masa kejayaan kerajaan-kerajaan Nusantara, hadir para pemimpin, seperti Ratu Shima (Kalingga), Ratu Kalinyamat (Jepara), Sultanah Safiatuddin (Aceh), Ratu Boki (Ternate), dan beberapa pemimpin kerajaan lainnya. Mereka memiliki kemampuan dalam melawan penjajah, bahkan mengubah peradaban.
Demikian juga, ujar Rerie, sapaan akrab Lestari, pada masa sebelum dan sesudah kemerdekaan, sejumlah perempuan dianugerahi gelar sebagai pahlawan Nasional, karena mampu memimpin kelompok masyarakat di daerah tertentu, untuk memerangi penjajah.
Antara lain seperti Laksamana Malahayati, Martha Christina Tiahahu, dan Raden Ajeng Kartini. Diungkapkan Rerie, distorsi tentang peran perempuan Indonesia, kemungkinan terjadi pada periode kolonialisasi, dengan konsekuensi asimilasi nilai dan akulturasi budaya. Perempuan pun didaulat hanya berurusan dengan hal-hal domestik.
BACA JUGA: PAC GP Ansor Tahunan Gelar Istighosah dan Mujahadah di Malam 10 Muharram
Akibatnya, ujar Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, pandangan pada kepemimpinan perempuan Indonesia, dalam catatan sejarah berbeda dengan kondisi saat ini. Sejumlah tantangan pun muncul, terutama terkait anggapan bahwa, perempuan adalah warga kelas dua.
Sehingga, tegas anggota Majelis Tinggi Partai Nasdem itu, dibutuhkan inisiatif individual dan komunal, untuk menyudahi tantangan paradigma pemikiran, tendensi dan habitus publik, yang memandang perempuan sebagai warga kelas dua.
”Bagaimana kita bisa kembali pada semangat kepemimpinan perempuan warisan sejarah Nusantara, agar setiap individu punya kesempatan yang sama. Perubahan itu harus dimulai dari perubahan pola pikir,” tegas Rerie.
Mengutip buku berjudul ‘Leadership Beyond Gender: Transcend Limiting Mindsets to Become a More Engaging Leader’, karya Valencia Ray (2013), Rerie menyebut, sejatinya visi kepemimpinan untuk meningkatkan kehidupan manusia, tidak memiliki gender dan tidak terbatas.
Riyan