JEPARA (SUARABARU.ID)- Kisah Ratu Kalinyamat yang melakukan ritual “topo wudho sinjang rambut” masih menjadi cerita turun temurun dalam masyarakat Jawa, khususnya warga Jepara. Kisah legenda tersebut menceritakan betapa sedihnya Ratu Kalinyamat kala itu karena kematian suaminya Sultan Hadlirin dalam perebutan kekuasaan Demak.
Konon, Hal inilah yang membuat Ratu Kalinyamat menuntut balas dan bersumpah tidak akan keluar dari pertapaannya di Goa Sonder sebelum Arya Penangsang mati. Dan, dalam cerita babad pasukan Soreng Arya Penangsanglah yang telah membunuh Sultan Hadlirin.
Kisah di atas akan diangkat oleh Sanggar Tari Retna Kencana yang akan berkolaborasi dengan Gandrung Project pimpinan Didin Ardiansyah, salah satu seniman Jepara. “Kami akan menampilkan pagelaran drama tari dengan mengangkat cerita Ratu Kalinyamat, dengan mengambil cerita kisah bertapanya sang ratu setelah kematian suaminya, Sultan Hadlirin”, kata Didin dalam acara Jagong Budaya dengan tema “Rainha de Japora dari Jepara untuk Nusantara” di Kafe Jenggo, Bangsri Jenggotan, Selasa, (11/7/2023).
Forum diskusi yang mengangkat tema kepahlawanan Ratu Kalinyamat ini juga dihadiri oleh para seniman dan budayawan. Hadir Budayawan sekaligus penulis Hadi Priyanto, PC Lesbumi NU Ali Burhan, Ulil Abshor pegiat sejarah Jepara, Yazid pemerhati sejarah, M. Dalhar Ketua Pegiat Muda Budaya Jepara, Indra Dewi Pimpro event pentas tari, Produser Bunda Shofi, Fahmi Bazuri Teater Tuman, serta para penari dan pemain yang akan terlibat dalam pentas tari Ratu Kalinyamat.
Masih menurut Didin, forum Jagong Budaya yang digelar ini, selain sebagai persiapan pentas tari, yang rencananya akan digelar pada Sabtu, 15 Juli 2023 di Lapangan Kembang, Kabupaten Jepara, juga untuk menggali nilai-nilai kepahlawanan Ratu Kalinyamat.
“Kami memang sengaja menghadirkan para seniman, budayawan serta pegiat sejarah Jepara untuk melihat Ratu Kalinyamat dari berbagai sudut panndang”, ujar pria lulusan Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini.
Sementara itu, Indra Dewi pimpro pementasan menganggap selama ini istilah topo wudho Ratu Kalinyamat sering disalah artikan sebagai bertapa telanjang dan sebagai sesuatu yang negatif. Padahal dalam tradisi masyarakat Jawa banyak sekali simbol atau perlambang dalam menggambarkan seseorang.
“Topo wudho, Ratu Kalinyamat tidak bisa diartikan secara harfiah sebagai “telanjang”. Kami meyakini bahwa topo wudho sebagai bagian dari upaya penyucian diri dan menanggalkan keduniawian”, terang Indra.
Hal senada juga disampaikan oleh M. Dalhar, Ketua Pegiat Muda Budaya Jepara terkait tafsir topo wudho. “Jangan percaya cerita ketoprak yang penuh dengan pengaburan sejarah. Tidak mungkin seorang putri raja dan salah satu murid dari Walisongo bertapa dengan telanjang, apalagi Ratu Kalinyamat baru saja ditinggal mati oleh suaminya”, tegas Dalhar.
Wudho itu sanepo atau kiasan dari kata Iddah. Syariat Islam yang harus dijalankan bagi seorang perempuan untuk tidak keluar rumah setelah ditinggal mati suaminya”, ungkap Dalhar.
ua