Benny saat memaparkan tentang buku bahan ajar Pancasila, yang rencananya akan diterapkan di lingkungan pendidikan PAUD, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi. Foto: riyan

SEMARANG (SUARABARU.ID)– Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan Pembina Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo menyampaikan harapannya, agar PWI Jawa Tengah juga turut serta menyosialiasikan nilai-nilai Pancasila, di tengah tantangan era digital.

Hal itu seperti yang dia sampaikan, setelah pihaknya bersinergi dengan Pemerintah Provinsi Jateng dan Pemerintah Kota Semarang, untuk menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila, agar menjadi The Living and Working Ideology.

Bentuk sinergi BPIP dengan Pemprov dan Pemkot dalam membumikan Pancasila, dilakukan melalui penerapan buku Pancasila, yang disebutnya sebagai “Buku Babon”, untuk masuk dalam lingkungan pendidikan, mulai tingkat PAUD, SD hingga perguruan tinggi. Buku Pancasila bersama alat peraga itu sendiri, sudah disetujui Kemendikbud.

BACA JUGA: Dosen Jurusan THP USM Sosialisasikan Keamanan Pangan pada Pengolahan Daging di SMK Negeri 6 Kendal

”Sosialisasi pengamalan nilai-nilai Pancasila harus masif dilakukan di tengah masyarakat, khususnya para anak didik di sekolah. Hal ini agar Pancasila dijadikan The Living and Working Ideology (ideologi hidup dan kerja),” kata Benny saat menyambangi Kantor PWI Jateng, Semarang, Rabu (14/6/2023) malam.

Kedatangan budayawan itu, disambut Ketua PWI Jateng Amir Machmud NS dan jajaran, serta Ketua Dewan Kehormatan PWI Jateng Sri Mulyadi.

Dalam kesempatan itu, Benny menyampaikan hasil survei lembaga Setara Institute, di lima kota, yang menyebutkan, sebesar 83,3 persen siswa SMA yang menjadi responden penelitian menyatakan, Pancasila bukan ideologi permanen dan dapat diganti. Ada 35 persen dari mereka mengatakan, dibolehkan melakukan kekerasan untuk membela agama.

BACA JUGA: Job Fair UKSW Dibanjiri 800-an Pencari Kerja di Hari Pertama

Realitas itu terjadi, diduga akibat selama 23 tahun generasi muda mengalami distorsi sejarah Pancasila. Hal itu karena, mata ajar ini ditiadakan dari bangku sekolah.

Ujungnya, para siswa menjadi cenderung permisif terhadap hal hal yang sebenarnya bertentangan dengan Pancasila.

”Padahal Bung Karno dalam memformulasikan Pancasila, sudah mengikutkan agama, adat dan budaya, yang sudah menjadi dasar berkehidupan bangsa Indonesia. Sesuai sila ketiga dan kelima, Pancasila itu mempersatukan dan menyejahterakan bersama,” tegas Stafsus lembaga yang dikepalai Prof Drs KH Yudian Wahyudi MA PhD itu.

BACA JUGA: Hadapi Pemilu 2024 Pangdam IV/Diponegoro Tekankan Jajarannya Junjung Tinggi Netralitas 

Benny sangat berharap, PWI dan media turut menggaungkan dan menginformasikan buku bahan ajar pendidikan Pancasila kepada masyarakat. Buku yang sudah masuk kurikulum pendidikan Nasional ini, merupakan tindak lanjut atas lahirnya PP No 4 tahun 2022, yang mengembalikan Pancasila sebagai mata pelajaran wajib dalam pendidikan Nasional. Pola pengajaran Pancasila ini terdiri dari 70 persen materi praktik, dan 30 persen teori.

Hal itu bertujuan, untuk kembali menghasilkan peserta didik berkarakter Pancasila, dan tidak hanya sebatas teori atau retorika. Pengajaran Pancasila harus benar-benar dilaksanakan secara praktis dan efektif, dalam kehidupan sehari hari.

Materi bahan ajar yang terdiri dari 15 buku Pendidikan Pancasila dari tingkat PAUD, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi ini, diapresiasi Mendikbudristek, Nadiem Makarim.

BACA JUGA: Polres Klaten Laksanakan Apel Doa Lintas Agama

”Buku-buku itu akan djgunakan oleh 55 juta siswa dan 3,5 juta guru. BPIP juga akan membuat materi lanjutan, yang nantinya akan digunakan sejumlah intansi terkait, seperti MPR, Kemendikbudristek, BRIN, Lemhanas, dan Pertinasia (Perkumpulan Perguruan Tinggi Nasionalis Indonesia),” ungkap Nadiem.

Sementara itu, Ketua PWI Jateng, Amir Machmud NS, menyambut baik inisiasi BPIP, untuk mengajak bersama-sama menyosialisasikan nilai-nilai Pancasila, di kalangan peserta didik.

Dia bahkan menyarankan, agar sosialisasi ini lebih efektif dan terstruktur, perlu dibuat Focus Group Discussion (FGD), yang melibatkan BPIP, pakar/pengamat, unsur dinas pendidikan, dan perwakilan pemprov dan pemkot.

”Usulan kami, perlu adanya FGD dengan mengundang media, BPIP, pakar pendidikan, pengamat, unsur pemerintah, untuk ikut merumuskan desain sosialisasi, agar lebih efektif dan mengena,” ujar Amir yang juga seorang dosen jurnalistik dan penulis buku ini.

Riyan