Oleh Sukiyo*
Pada dasarnya murid-murid kita adalah individu-individu yang unik, artinya setiap anak mempunyai sifat, watak dan kepribadian yang berbeda satu sama lain, meskipun ada di antara mereka yang anak kembar identic. Apalagi dalam menghadapi murid-murid dalam satu kelas yang orangtuanya berbeda, taraf pendidikan orangtua yang berbeda dan mungkin adat istiadat yang berbeda pula. Harus ekstra keras di dalam mendampingi dan memberikan bimbingan pada mereka agar sesuai dengan yang mereka inginkan di dalam kehidupan sekarang dan di masa yang akan dating dalam mengarungi lautan kehidupan yang heterogen dan mengalami kemajuan zaman yang sangat pesat ini.
Kita sebagai seorang pendidik harus mampu mengakomodir semua kebutuhan murid-murid kita dengan baik, berdasarkan pemikiran KH Dewantara “momong” pada anak. Kita semua tentu sepakat bahwa murid-murid kita dapat melakukan lebih dari sekedar menerima instruksi dari guru. Mereka secara alami adalah seorang pengamat, penjelajah, penanya, yang memiliki rasa ingin tahu atau minat terhadap berbagai hal. Lewat rasa ingin tahu serta interaksi dan pengalaman mereka dengan orang lain dan lingkungan sekitarnya, mereka kemudian membangun sendiri pemahaman tentang diri mereka, orang lain, lingkungan sekitar, maupun dunia yang lebih luas. Dengan kata lain, murid-murid kita sebenarnya memiliki kemampuan atau kapasitas untuk mengambil bagian atau peranan dalam proses belajar mereka sendiri.
Kadang-kadang kita bahkan tanpa sadar membiarkan murid-murid kita secara sengaja menjadi tidak berdaya, dengan secara sepihak memutuskan semua yang harus murid pelajari dan bagaimana mereka mempelajarinya, tanpa melibatkan peran serta mereka dalam proses pengambilan keputusan tersebut. Pernahkah kita melakukan refleksi dan kemudian menyadari bahwa terkadang, guru atau orang dewasa sering memperlakukan murid-murid seolah-olah mereka tidak mampu membuat keputusan, pilihan, atau memberikan pendapat terkait dengan proses belajar mereka? Kita harus memulainya dari sekarang untuk memberdayakan murid-murid kita utuh apa adanya sesuai dengan bakat,minat dan kebutuhannya.
Bagaimana cara kita menumbuhkembangkan kepemimpinan murid (Student agency)? Tentunya mulai dari orangtua, para guru dan masyarakat di sekitar tempat tinggal para murid, agar kita dapat menjadikan murid sebagai pemimpin bagi proses pembelajarannya sendiri, maka kita perlu memberikan kesempatan kepada murid untuk mengembangkan kapasitasnya dalam mengelola pembelajaran mereka sendiri, sehingga potensi kepemimpinannya dapat berkembang dengan baik. Peran kita sebagai orangtua dan guru adalah mendampingi mereka agar pengembangan potensi kepemimpinan mereka tetap sesuai dengan kodrat, konteks dan kebutuhannya, serta mengurangi kontrol kita terhadap mereka.
Kepemimpinan murid dapat dilihat sebagai kapasitas untuk menetapkan tujuan, melakukan refleksi dan bertindak secara bertanggung jawab untuk menghasilkan perubahan. Kepemimpinan murid adalah tentang murid yang bertindak secara aktif, dan membuat keputusan serta pilihan yang bertanggung jawab, daripada hanya sekedar menerima apa yang ditentukan oleh orang lain. Saat murid menjadi pemimpin dan mengambil peran aktif dalam proses pembelajaran mereka sendiri, maka hubungan yang tercipta antara guru dengan murid akan mengalami perubahan, karena hubungannya akan menjadi bersifat kemitraan. Dalam hubungan yang bersifat kemitraan ini para murid akan berusaha untuk memahami tujuan pembelajaran yang ingin dicapainya, menunjukkan keterlibatan dalam proses pembelajaran, menunjukkan tanggung jawab dalam proses pembelajaran, menunjukkan rasa ingin tahu menunjukkan inisiatif, membuat pilihan-pilihan tindakan bahkan mereka akan memberikan umpan balik serta refleksi terhadap apa yang telah mereka pelajari hari itu.
Di sisi lain para guru tidak lagi menjadi pusat belajar, akan tetapi sekarang menjadi mitra bagi murid dalam belajar. Sebagai mitra murid dalam belajar tentu saja harus selalu siap mendampingi para murid di setiap pembelajaran. Tugas kita sebagai guru antara lain adalah berusaha secara aktif mendengarkan, menghormati, dan menanggapi ide-ide, pendapat, pertanyaan, aspirasi dan perspektif murid-murid, memperhatikan kemampuan, kebutuhan, dan minat murid-murid mereka untuk memastikan proses pembelajaran sesuai untuk mereka, mendorong murid untuk mengeksplorasi minat mereka dengan memberi mereka tugas-tugas terbuka, menawarkan kesempatan kepada murid untuk menunjukkan kreativitas dan mengambil risiko dan berusaha untuk menunjukkan minat dan keingintahuan untuk mendengarkan dan menanggapi setiap aktivitas murid untuk memperluas pemikiran mereka. Hal ini tentu saja memerlukan pribadi guru yang berorientasi pada pelayanan, akuntabel, kompeten,harmonis,loyal, adaptif dan kolaboratif terhadap tugas dan tanggungjawab sebagai guru. Guru harus bisa menempatkan pribadi yang harmonis pada murid, adaptif terhadap kemajuan teknologi informasi dan bias kolaboratif bekerjasama dengan rekan yang lainnya demi kemajuan pendidikan.
Cara menumbuhkembangkan kepemimpinan pada murid(student agency) adalah Lewat suara, pilihan, dan kepemilikan (voice,choice dan ownership). Inilah yang dimiliki murid dalam mengembangkan kapasitas dirinya menjadi seorang pemilik bagi proses belajarnya sendiri. Tugas kita sebagai guru sebenarnya hanya menyediakan lingkungan yang menumbuhkan budaya di mana murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan dalam apa yang mereka pikirkan, niat yang mereka tetapkan, bagaimana mereka melaksanakan niat mereka, dan bagaimana mereka merefleksikan tindakan mereka. Voice (suara) adalah pandangan, perhatian, gagasan yang diekspresikan oleh murid melalui partisipasi aktif mereka di kelas, sekolah, komunitas, dan sistem pendidikan mereka, yang berkontribusi pada proses pengambilan keputusan dan secara kolektif mempengaruhi hasilnya. Pilihan (choice) adalah peluang yang diberikan kepada murid untuk memilih kesempatan-kesempatan dalam ranah sosial, lingkungan, dan pembelajaran. Ownership (kepemilikan) adalah ketika murid berada dalam kursi kemudi proses belajar mereka, maka mereka akan lebih bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran mereka sendiri dan menunjukkan keterlibatan yang lebih tinggi dalam proses belajarnya. Menurut Duddley-Marling dan Searle yang dikutip oleh Rainer dan Mona dalam artikel yang berjudul Ownership of Learning in Teacher Education (2002:27) bahwa kepemilikan bukanlah sesuatu yang bisa diberikan, melainkan sesuatu yang berkembang dalam struktur dan proses yang menyiratkan rasa hormat terhadap otonomi, kekuasaan, suara, dan tanggung jawab kepada orang lain.
Pada akhirnya kita sebagai orangtua dan juga sebagai guru mengharapkan pembelajaran para murid menjadi lebih memanusiakan manusia, lebih memberikan suara(voice) pada murid, lebih memberikan pilihan (choice) pada mereka dan tentunya lebih banyak memberikan kepemilikan (ownership) pada mereka agar murid-murid dapat tumbuh kembang sesuai dengan bakat, minat dan kebutuhan mereka untuk bekal menghadapi kehidupan sekarang dan di masa yang akan datang, agar bisa bersaing dengan generasi-generasi seangkatan baik dari dalam dan luar negeri dalam kemajuan pendidikan, akhlaq dan budipekerti yang luhur serta jati diri yang santun, beradap dan bias membuat dan memanfaatkan teknologi ini.
Harapan kita sebagai guru para murid dengan kebebasannya ini lebih menjadi pribadi yang baik, bisa menjaga diri dalam pergaulan, lebih santun tidak lagi ada tawuran pelajar, tawuran mahasiswa bahkan tawuran antar kampung karena hal yang sepele.
*Penulis adalah Kepala SDN 1 Kalipucangkulon, Kecamatan Welahan, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.