SEMARANG (SUARABARU.ID) – Semua masalah ada solusinya. Kekerasan dalam bentuk SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan), penghinaan fisik, status sosial, dan sebagainya, tidak boleh dilakukan.
Hal tersebut dikatakan Kepala Sekolah SMA Negeri 2 Mranggen, Sugiharto SPd MPd dalam Kampanye bertema “Mengenal Toxic Relationship Lebih Dini” yang digelar tim PkM yang terdiri atas mahasiswa Ilkom USM di ruang lab komputer SMAN 2 Mranggen, pada 23 Mei 2023.
“Semuanya bisa diselesaikan baik-baik karena siapa tahu korban yang pernah kita bully akan mejadi penolong di masa depan. Hidup itu dinamis, dapat naik dan turun,” lanjut Sugiharto.
Dia mengatakan, ciri khas generasi Z adalah membentuk jaringan sosial, seperti koneksi antarteman yang dapat membuka banyak peluang. Kalau masih berfikir untuk individualis maka sulit untuk mencapai kesuksesan.
Dia mengapresiasi tim PkM Mahasiswa Ilmu Komunikasi USM yang telah menggelar kegiatan ini.
“Terima kasih kepada mahasiswa Ilkom USM yang telah mengambil tema yang tepat sekali. Kekerasan yang berupa fisik, verbal, maupun tindakan pelecehan dengan gerakan tubuh tidak boleh ditujukan didunia nyata maupun maya,” tandasnya.
Ketua UKM Pusat Informasi dan Layanan Konseling Universitas Semarang (Pilus USM), Oktavia Nurismawati mengatakan, hubungan antar dua orang seringkali timbul kekerasan.
“Kekerasan yang terjadi dalam suatu hubungan dapat menyebabkan hubungan yang terjalin menjadi tidak sehat. Toxic relationship adalah istilah dari hubungan tidak sehat yang sering didengar kebanyakan orang. Bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, toxic berarti racun, sehingga dapat disimpulkan toxic relationship adalah hubungan tidak sehat yang berdampak buruk bagi keadaan fisik maupun mental seseorang,” tuturnya.
“Hubungan yang tidak sehat memiliki beberapa jenis yang diklasifikasikan berdasarkan perilaku yang diberikan pelaku kepada korban,” tuturnya.
Menurutnya, ada 8 jenis toxic relationship salah satunya, the overdependent partner (sangat bergantung).
“The over dependent partner atau sangat bergantung merupakan sikap pasangan yang sangat pasif. Dalam hubungan tersebut pasangan cenderung tidak mau membuat banyak keputusan. Hal ini berdampak buruk terhadap mental karena akan membuat kita mesti bertanggung jawab atas hasil keputusan tersebut,” jelasnya.
Oktavia menjelaskan, pasangan dengan tipikal seperti itu cenderung tidak mau disalahkan atas pengambilan keputusan. Dengan sikap seperti itu, korban akan mengalami tekanan batin karena harus memegang kendali dalam hubungan terus-menerus.
Ketua Pelaksana, Danindra mengatakan, kegiatan ini bertujuan memaparkan bahaya hubungan yang tidak sehat dan cara mencegahnya lebih dini.
“Banyak di sekitar kita yang terjebak dalam hubungan yang tidak sehat hingga mengakibatkan pengambilan keputusan yang kurang tepat. Hal ini lebih banyak terjadi pada remaja. Oleh karena itu, dengan adanya kampanye ini saya berharap teman-teman dapat lebih waspada dengan hubungan yang tidak sehat,” pungkasnya.
Muhaimin