Oleh : Ariyanto Mohammad Toha, M.Pd
Siapa kiranya tak kenal istilah Ing ngarso sung tuladha, Ing madya mangun karsa, Tut wuri handayani yang diperkenalkan Ki Hajar Dewantara sebagai Bapak Pendidikan di Indonesia ?. Ketiga semboyan itu dikenal sebagai pratap triloka yang mengandung makna di depan memberi teladan, di tengah memberi motivasi/semangat, dan di belakang memberi dorongan/dukungan.
Hal tersebut sesuai dengan tiga prinsip pengambilan keputusan ; Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thingking), tolak ukur pada pengambilan keputusan ini ialah bagaimana seorang pemimpin melakukan keputusan demi kebaikan orang banyak; Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thingking), pandangan seorang pemimpin memilih prinsip ini ialah ketika ia menjunjung tinggi prinsip-prinsip/nilai-nilai dalam diri seorang pemimpin itu sendiri, dan Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thingking), sedangkan pada prinsip ini seorang pemimpin melakukan apa yang ia harapkan orang lain akan lakukan kepada dirinya.
Dengan kata lain, seorang pemimpin harus dapat memposisikan dirinya secara dinamis terhadap masalah yang ia hadapi dengan mengimplementasikan ketiga prinsip pengambilan keputusan dengan berpegang teguh pada pratap triloka.
Nilai-nilai yang tertanam dalan diri kita sebagai pendidik tentu sangat berpengaruh terhadap prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan keputusan. Kelima nilai pendidik antara lain ; berpihak pada murid, mandiri, kolaboratif, inovatif dan reflektif. Jika nilai kita sebagai pendidik memiliki tingkat egoisme yang tinggi dalam diri tentu akan jauh dari keberpihakan pada murid begitupun sebaliknya ketika dalam diri kita telah tertanam rasa toleransi, empati, dan simpati tentu kita menomorsatukan pendidikan yang berpihak pada murid.
Jika dalam diri kita cenderung tertanam jiwa manja atau apa-apa harus digantikan orang lain tentu sangat bertolak belakang dengan jika dalam jiwa kita tertanam kemandirian, tentu kita hanya mengharap bantuan orang lain di awal yang selanjutnya kita pelajari dan kita lakukan secara mandiri dari belajar bukan orang lain yang menggantikan tugas/pekerjaan kita. Lain halnya jika kita memiliki jiwa antipasti terhadap kolaboratif tentu akan jauh dari nilai-nilai seorang pendidik di mata murid.
Jika diri kita cenderung menutup diri pada hal-hal baru yang bersifat dinamis sesuai perkembangan zaman tentu kita akan jauh pula berinovasi. Dan yang terakhir, ketika dalam diri kita sebagai pendidik tertanam karakter Maha Benar ini justru sangat berbahaya karena akan sangat jauh dari merefleksikan diri kita yang justru sangat penting digunakan dalam perbaikan kualitas kita mendidik di masa yang akan datang melalui evaluasi-evaluasinya.
Dalam kegiatan coaching, prinsip pengambilan keputusan sangat erat hubungannya karena mempertemukan berbagai pihak yang bermasalah dengan tujuan mencari jalan keluar sesuai dengan ketiga prinsip pengambilan keputusan. Seni bertanya untuk menggali potensi coachee, seni menjadi pengdengar yang baik, dan seni menagkap kata kunci merupakan tiga prinsip penting coaching sebagai seorang pemimpin.
Dengan mengobservasi, menaganalisa, dan mencari solusi sangat erat hubungannya dengan dinamika pengambilan keputusan seorang pemimpin dalam memposisikan dirinya sebagai pemimpin yang berpikir berbasis hasil akhir (Ends-Based Thingking), pemimpin yang berpikir berbasis peraturan (Rule-Based Thingking), dan pemimpin yang berpikir berbasis rasa peduli (Care-Based Thingking).
Kemampuan guru dalam mengelola dan menyadari aspek sosial emosionalnya akan berpengaruh terhadap pengambilan suatu keputusan khususnya masalah dilema etika memang harus benar-benar digarisbawahi sebagai kebutuhan yang pokok sebagai seorang pemimpin pembelajaran.
Sebagai pemimpin pembelajaran, guru diharapkan dapat menganalisa dengan mengobservasi dan memahami kebutuhan belajar murid dalam pembelajarannya yang mana dalam hal ini guru dapat menguasai kompetensi keterampilan sosial emosional seperti ; self awareness (kepercayaan diri), self menegement (pengelolaan diri), social awerness (kesadaran sosial), dan relationship skills (keterampilan dalam berhubungan sosial) dalam pengambilan keputusan.
Seorang guru membutuhkan keberanian dan kepercayaan diri untuk menghadapi konsekuensi dan implikasi dalam proses pengambilan keputusan yang memang pada kenyataannya tidak dapat mengakomodir seluruh kepentingan yang ada. Namun yang menjadi tujuan utama dalam pengambilan sebuah keputusan haruslah berpihak kepada murid.
Nilai-nilai seorang pendidik seperti inovatif, kolaboratif, mandiri, dan reflektif mampu menuntun muridnya agar mengenali potensi yang ia miliki dalam pengambilan keputusan di setiap permasalahan yang dihadapi di mana nilai-nilai tersebut menjadi landasan pemikiran yang positif.
Pemimpin pembelajaran juga mampu melihat setiap permasalahan yang ia hadapi baik berupa bujukan moral atau dilema etika. Sedangkan berbagai studi kasusn yang dihadapi seorang guru harus memegang teguh prinsip melakukan demi kebaikan orang banyak, menjunjung tinggi prinsip/nilai-nilai dalam diri, dan melakukan apa yang kita harapkan orang lain juga lakukan kepada diri kita.
Pengambilan keputusan yang tepat tentu akan menciptakan yang positif, kondusif, aman, dan nyaman sehingga seluruh pihak yang terlibat dapat mengambil hikmah dari setiap permasalahan yang terjadi. Dalam menghadapi masalah, seorang pendidik yang baik selayaknya menerapkan sembilan langkah pengambilan keputusan agar tercipta iklim yang positif setelah masalah terselesaikan.
Tantangan-tantangan yang ada dan umum terjadi di dunia pendidikan ialah kecenderungan setiap individu yang terlibat dalam permasalahan untuk menampilkan sikap egoismenya yang mengesampingkan nilai-nilai, paradigma-paradigma, norma etika, prinsip pengambilan keputusan, langkah pengambilan keputusan yang terkesan berlarut-larut bak debat kusir sehingga mengesampingkan keberpihakan kepada murid bahkan mengorbankan masa depannya.
Pengambilan keputusan yang seorang pendidik ambil dengan keberpihakan kepada murid akan sangat berpengaruh terhadap masa depan murid itu sendiri. Pembelajaran berdiferensiasi ialah satu-satunya pilihan tepat dalam mengakomodir kebutuhan belajar murid sesuai potensi, bakat, minat yang ia miliki.
Dengan kata lain tatkala seorang pendidik memutuskan untuk mengambil alih seluruh proses pembelajaran sesuai keinginan pribadinya tanpa mengedepankan keberpihakan terhadap murid, tentu momen ini akan selalu diingat dan terekam di otaknya hingga ia dewasa. Sebaliknya, dengan seorang pendidik mengambil keputusan untuk mengedepankan keberpihakan pada murid pada proses pembelajaran tentu murid akan merekam hal-hal positif yang ada dalam dirinya karena dengan pembelajaran tersebut murid diberi kebebasan untuk berekspresi sesuai potensi, kompetensi, bakat, minat yang ia miliki sehingga hal-hal baik akan terekam indah dalam memorinya sehingga ia dewasa. Kedua hal tersebut akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan atau masa depan murid, tinggal bagaimana endingnya.
Empat Paradigma Dilema Etika
Seperti kita ketahui bahwa Dilema Etika merupakan sebuah tantangan berat dan harus dihadapi dari waktu ke waktu di mana di dalamnya terdapat nilai-nilai kebajikan mendasar yang bertentangan seperti cinta dan kasih saying, kebenaran, keadilan, kebebasan, persatuan, toleransi, penghargaan akan hidup, dan tanggung jawab. Empat paradigma dilema etika yang dimaksud adalah
• Individual vs community (Individu lawan kelompok)
• Justice vs mercy (Rasa keadilan lawan rasa kasihan)
• Truth vs loyalty (Kebenaran lawan kesetiaan)
• Short term vs long term (Jangka pendek lawan jangka panjang)
Etika tentunya bersifat relatif dan bergantung pada kondisi dan situasi, dan tidak ada aturan baku yang berlaku. Tentunya ada prinsip-prinsip yang lain, namun ketiga prinsip di sini adalah yang paling sering dikenali dan digunakan.
Dalam seminar-seminar, ketiga prinsip ini yang seringkali membantu dalam menghadapi pilihan-pilihan yang penuh tantangan, yang harus dihadapi pada dunia saat ini. (Kidder, 2009, hal 144). Selain mendalami empat paradigma pengambilan keputusan di atas, seorang pemimpin hendaknya dapat menguasai kompetensi prinsip-prinsip pengambilan keputusan diantaranya ; Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thingking), Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thingking), Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thingking).
Tiga Prinsip Pengambilan Keputusan ; Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thingking), tolak ukur pada pengambilan keputusan ini ialah bagaimana seorang pemimpin melakukan keputusan demi kebaikan orang banyak, Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thingking), pandangan seorang pemimpin memilih prinsip ini ialah ketika ia menjunjung tinggi prinsip-prinsip/nilai-nilai dalam diri seorang pemimpin itu sendiri, Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thingking), sedangkan pada prinsip ini seorang pemimpin melakukan apa yang ia harapkab orang lain akan lakukan kepada dirinya.
Konsep 9 Langkah Pengambilan Keputusan
1. Mengenali nilai-nilai yang saling bertentangan,
2. Menentukan siapa saja yang terlibat dalam situasi ini,
3. Kumpulkan fakta-fakta yang relevan dalam situasi ini,
4. Pengujian benar atau salah diantaranya ; Uji Legal, Uji Regulasi/Standar Profesional, Uji Intuisi, Uji Publikasi. Uji Panutan/Idola
5. Pengujian paradigma benar lawan benar (dilema etika) antara lain ; Individual vs community (Individu lawan kelompok), Justice vs mercy (Rasa keadilan lawan rasa kasihan), Truth vs loyalty (Kebenaran lawan kesetiaan), Short term vs long term (Jangka pendek lawan jangka panjang)
6. Melakukan prinsip resolusi seperti ; Berpikir Berbasis Hasil Akhir (Ends-Based Thingking), Berpikir Berbasis Peraturan (Rule-Based Thingking), Berpikir Berbasis Rasa Peduli (Care-Based Thingking).
7. Investigasi Opsi Trilema,
8. Buat keputusan,
9. Lihat lagi keputusan dan refleksikan.
Sedangkan hal di luar dugaan yang sering muncul dan banyak terjadi adalah bahwa kita sebagai seorang pendidik dalam mengambil dan memutuskan atau mencari jalan keluar atas permasalahan yang terjadi serta melibatkan banyak pihak atas berbagai pilihan, kita cenderung dan terbiasa berprinsip mana suka atau like dislike yang justru menggiring kita jauh dari keberpihakan terhadap murid.
Sebagai seorang pendidik, dalam menghadapi dilema etika tentu kita pernah mengalami hal-hal sulit dalam memutuskan suatu permasalahan. Keputusan yang kita ambil sebelum kita tahu bahwa pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan itu sangat penting untuk keberpihakan terhadap murid, tak mungkin kita pungkiri bahwa sebelumnya kita menerapkan pengambilan keputusan yang jauh dari nilai-nilai kebajikan.
Sebagai contoh dalam pembelajaran saja, kita lebih sering menggunakan dua siklus dalam pembelajaran, yaitu ; persiapan pembelajaran dan pelaksanaan pembelajaran yang jauh dari keberpihakan kepada murid. Padahal kita sebenarnya tahu bahwa setiap murid memiliki kepribadiannya masing-masing sehingga banyak dari kita mengesampingkan prapersiapan pembelajaran berupa assesmen diagnostik yang berisi analisa data tentang kepribadian siswa agar dalam proses pembelajarannya disesuaikan kebutuhannya.
Dampak kita sebagai seorang pendidik dalam mempelajari konsep pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan ini sangat positif dan berguna bagi keberlangsungan pendidikan yang berpihak pada murid agar tercapai profil pelajar pancasila. Sedangkan perubahan yang terjadi kita rasakan bahwa kita sebagai seorang pendidik secara arif dan bijaksana terus berusaha untuk mengasah kompetensi dari empat paradigma dilema etika, tiga prinsip pengambilan keputusan, dan sembilan langkah pengambilan keputusan dalam implementasinya di dunia pendidikan yang nyata kita hadapi sekarang ini.
Sebagai seorang pendidik, topik ini sangatlah penting untuk kita pelajari mengingat kita tidak akan lepas dari yang namanya masalah dalam kehidupan sehari-hari tak terkecuali secara spesifik di dunia pendidikan. Kompetensi pengambilan keputusan berbasis nilai-nilai kebajikan sebagai pemimpin pembelajaran yang berpihak pada murid sangat diperlukan guru.
Penulis adalah Calon Guru Penggerak Angkatan 7 Kabupaten Jepara dari SMP Muhammadiyah Asy Syifa’ Blimbingrejo Kec. Nalumsari