Redupnya Kasultanan Demak
Setelah kabar kematian Raden Mukmin sampai di Jepara, bersamaan dengan Pangeran Arya Pangiri yang meminta perlindungan, Ratu Kalinyamat segera memerintahkan kepada pengawal untuk memberitahukan kematian Raden Mukmin kepada Pangeran Hadlirin yang sedang berada di Mantingan.
“Pengawal, pergilah ke Mantingan kabarkan pada Pangeran Hadlirin sekarang juga…!!!!” perintah Ratu Kalinyamat kepada dua pengawal Pangeran Arya Pangiri.
“Baik Ratu…!!!!” jawab dua pengawal tersebut serempak sambil menghaturkan sembah dan undur diri. Seketika dua pengawal itu memacu kudanya dengan cepat menuju Mantingan.
Suasana duka menyelimuti Kerajaan Demak. Penduduk Demak berduyun-duyun memadati alun-alun mengikuti prosesi pemakaman Raden Mukmin dan istrinya. Masjid Demak tempat menyembahyangkan jenazah penuh dengan para pelayat. Tampak beberapa anggota Walisongo ikut dalam prosesi pemakaman tersebut.
Setelah acara pemakaman selesai, Dewan Walisongo menggelar musyawarah untuk menentukan siapa yang akan menggantikan Raden Mukmin sebagai Sultan Demak. Namun tidak ada kata sepakat dalam musyawarah tersebut, sehingga sementara roda pemerintahan Kerajaan Demak dipegang oleh Ratu Kalinyamat sebagai anak tertua dari Sultan Trenggana. Pemerintahan dijalankan dari Keraton Kalinyamatan Jepara.
Ratu Kalinyamat masih menyimpan penasaran perihal siapa sebenarnya yang menjadi dalang dibalik terbunuhnya Raden Mukmin. Kemudian Ratu Kalinyamat memerintahkan seorang pengawal untuk mengambil sebilah keris yang telah digunakan untuk menghabisi nyawa Raden Mukmin. Keris tersebut dibungkus dengan kain kaffan.
Bersama suaminya Pangeran Hadlirin, Ratu Kalinyamat membuka keris tersebut dari warangkanya. Tampak suami istri tersebut terkejut dan terbelalak matanya mengetahui keris yang digunakan untuk membunuh Raden Mukmin adalah keris Kyai Setan Kober milik Sunan Kudus.
“Astaghfirullahaladziim…kenapa keris Bapa Kanjeng Sunan Kudus digunakan untuk membunuh Kang Mas Mukmin…!!!” teriak Ratu Kalinyamat tanpa bisa menyembunyikan keterkejutannya.
Pangeran Hadlirin tampak masygul, dengan mengusap wajahnya diraihnya pundak Ratu Kalinyamat dan memeluknya.
“Sabar Nyai…”
Pangeran Hadlirin berkata dengan lembut sambil mengusap kepala Ratu Kalinyamat. Dalam hati dia tak habis fikir, kenapa keris gurunya Sunan Kudus bisa tertancap di dada Raden Mukmin. Ada permainan apa ini dibalik kematian Raden Mukmin. Pangeran Hadlirin berfikir keras berusaha untuk tidak berprasangka buruk terhadap gurunya.
“Kang Mas, tolong antarkan aku untuk menemui Bapa Kanjeng Sunan Kudus sekarang juga !!!” kata Ratu Kalinyamat kepada Pangeran Hadlirin.
“Apakah tidak sebaiknya menunggu waktu yang tepat dulu Nyai, suasana masih berduka. Belum sampai tujuh hari Kang Mas Mukmin wafat, tunggulah sampai seratus hari, atau paling tidak empat puluh hari baru kita sowan ke Bapa Kanjeng Sunan Kudus…” Pangeran Hadlirin tampak segan untuk meminta penjelasan atas kematian Raden Mukmin kepada gurunya Sunan Kudus.
“Apakah Kang Mas tega melihatku penasaran seperti ini, lihatlah Pangeran Arya Pangiri yang telah menjadi yatim piatu Kang Mas…” Ratu Kalinyamat berusaha mendesak Pangeran Hadlirin untuk mengantarkannya bertemu Sunan Kudus.
Akhirnya Pangeran Hadlirin mengalah, menuruti keinginan istrinya untuk bertemu dengan Sunan Kudus. Kematian Raden Mukmin menyebabkan kekosongan takhta Kerajaan Demak, meskipun roda Pemerintahan dijalankan oleh Ratu Kalinyamat dari Jepara.
Namun rasa tidak puas menyelimuti beberapa pihak, karena Ratu Kalinyamat adalah seorang perempuan yang di dalam Syari’at Islam tidak boleh menjadi seorang Imam atau pemimpin selama masih ada laki-laki. Sementara masih ada cucu dari keturunan Raden Patah yang sudah dianggap dewasa, dan juga berhak atas takhta Demak yaitu Arya Penangsang, putra dari Pangeran Sekar. Konflik perebutan kekuasaan dari keturunan Raden Patah semakin diperuncing dengan keterlibatan Dewan Walisongo dalam mendukung siapa yang paling berhak menduduki takhta Kerajaan Demak. (ua)
Bersambung