Oleh : Hadi Priyanto
Tradisi larungan sesaji di Jepara telah berlangsung selama 178 tahun. Sebab berdasarkan cerita tutur, larungan sesaji ini telah dimulai saat Adipati Citrosomo VII berkuasa. Ia menjabat sebagai penguasa Jepara sejak tahun 1837 hingga 1857.
Larungan sesaji ini konon bermula dari kisah dua pejabat kadipaten Jepara yang akan ke Karimunjawa pada tahun 1855. Mereka naik perahu dari Teluk Jepara. Namun setelah berlayar beberapa waktu, datang badai yang sangat besar yang membuat perahu mereka terombang-ambing.
Beruntung Ki Ronggo Mulyo dan Cik Lanang mengetahui peristiwa tersebut dan keduanya segera memberikan pertolongan hingga kedua pejabat tersebut berhasil diselamatkan dari amukan badai. Mereka kemudian menyelenggarakan syukuran dengan melarung sesaji ke laut.
Larungan sesaji itu kemudian menjadi sebuah acara tahunan yang dilaksanakan oleh masyarakat setempat dengan nama Lomban. Bahkan 13 tahun kemudian yaitu tahun 1868, acara tersebut telah ramai dan dikunjungi bukan saja masyarakat Jepara tetapi juga dari Rembang, Juana dan Demak.
Peristiwa tersebut ditulis dalam Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (TNI) atau Jurnal Hindia Belanda yang terbit pada tahun 1868. Judul artikel dalam TNI ini adalah Het Loemban Feest Te Japara atau Kegiatan pada Lomban di Jepara.
Jurnal ini juga menyebutkan, pesta lomban yang berasal dari Jepara tidak pernah terdengar di tempat lain. Artinya bahwa pada tahun 1868, Pesta lomban di Jepara adalah satu-satunya pesta lomban di pesisir pantai.
Dr. Alamsyah, M.Hum Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Diponegoro dalam penelitiannya berjudul Budaya Syawalan atau Lomban di Jepara Studi Komparasi Akhir Abad Ke – 19 dan Tahun 2013 menguraikan catatan tentang lomban yang ada Tijdschrift voor Nederlandsch-Indië (TNI) atau Jurnal Hindia Belanda
Dalam tulisan yang berjudul Het Loemban Feest Te Japara tahun 1868 digambarkan saat lomban perahu-perahu yang terlibat dalam kegiatan tersebut dihiasi dengan indah. Pada lunas depan, belakang, dan tiang perahu dihiasi dengan rangkaian bunga pandan, kenanga, soka, dan ketupat yang saling terikat.
Selanjutnya orang menggantungkannya dengan bendera atau panji yang terbuat dari kain dan selendang dengan berbagai warna. Umumnya bendera atau panji ini berwarna hijau. Beberapa orang menempatkan sebuah boneka seperti manusia di lunas depan perahu. Boneka ini disebut kedawangan, yang terbuat dari kedobos atau tulang daun nibung, yang juga digunakan bagi sangkar burung. Selain itu berbagai perahu di Jepara dihiasi dengan boreh. Boreh adalah sejenis adonan cat yang berwarna kuning.
Pada kegiatan lomban ini masyarakat memasak ketupat yang dikemas secara khusus. Selain ketupat juga ada telur itik, kolang-kaling atau buah pohon aren yang berwarna hijau dan bulat. Seluruh keranjang penuh ketupat diangkut dengan perahu.
Ketupat, telur itik, dan kolang-kaling digunakan dalam prosesi saling lempar-melempar. Telur yang membusuk digunakan untuk saling lempar dan menyebarkan bau tidak sedap. Begitu pula kolang-kaling yang digunakan dapat menyebabkan gatal-gatal di kulit atau rasa terbakar karena terkena sentuhan getah. Permainan ini masih dilakukan oleh orang secara sembunyi-sembunyi.
Sementara itu kaum wanita harus menyiapkan makanan yang diperlukan. Makanan yang disiapkan kebanyakan terdiri atas lauk-pauk dan serbat. Oleh para petinggi atau kepala desa, sejumlah besar ketupat disampaikan sebagai hadiah bagi pesta kepada bupati. Para kepala desa mengiringi bupati sebagai pengiring , ke tempat acara digelar yaitu di Pulau Teluk
Dalam kegiatan ini bupati membawa dua belas payung atau penyekat dari bambu yang beroda. Kendaraan ini dilumuri dengan kapur dan kadang-kadang ditandai dengan gambar harimau, naga, dan ikan (TNI, 1868: 87). Beberapa orang membawa serta gamelan dalam perahu. Bupati biasanya memiliki gamelan termahal dan termerdu.
Bupati, kepala desa, dan masyarakat berlayar dengan iringan tabuh giro, musik Jawa, menyusuri sungai Jepara sampai laut. Sesampai di laut, dalam waktu singkat ratusan perahu yang penuh dengan muatan manusia berada di atas air yang jernih. Mereka berada di segala arah dan berteriak ramai-ramai sambil terus berlayar.
Perjalanan ini mencapai pulau yang jauh yaitu Pulau Panjang dan Pulau Tengah. Dalam pelayaran ke Pulau tersebut, warga saling bercanda ancaman dan gurauan, saling mengejar, saling melempar dengan sebagian ketupat, telor kotor dan kolang-kaling, menembak dengan pistol yang berpeluru kosong dan petasan Cina. Mereka terus berpesta hingga waktunya tiba untuk makan bersama. Ketika sampai di pantai pulau Encik Lanang ini orang singgah, memasak dan membakar ikan atau membeli makanan pada pedagang keliling (TNI, 1868: 88).
Pada hari pelaksanaan pesta lomban ini meskipun tidak ada pasar di Jepara, tetapi banyak kedai dan penjaja buah, lauk-pauk, minuman, dan barang dagangan yang lain berangkat ke tempat perlombaan. Setelah melaksanakan makan siang, warga berziarah ke makam Melayu yang ditemukan di pulau itu. Di tempat pemakaman ini, warga
berdoa, meletakkan bunga dan dupa.
Sementara itu dua belas penyekat bambu dipasang dalam sebuah lingkaran. Bupati bersama beberapa orang Eropa, bangsawan Jawa, dan keluarganya duduk di sebuah pendopo yang telah dirancang sebagai tempat beristirahat dan tempat menikmati pesta. Persediaan ketupat disiapkan. Beberapa bangsawan duduk di belakang pelindung atau aling-alingan. Yang lain berlindung dengan perisai bulat. Pertandingan dimulai dengan ditandai ribuan telor dan ketupat dilemparkan ke udara. Telor dan ketupat berjatuhan di semua tempat. Warga yang mengikuti pesta ini berlarian mencari kolang-kaling (TNI, 1868: 88).
Kegiatan akan selesai ketika bupati memberikan tanda berhenti. ketika kegiatan di Pulau ini selesai, semua orang kembali menuju kapal dan berlayar atau berdayung ke daratan di Jepara. Proses kembalinya ke daratan ini iringan bunyi gamelan. Menjelang pukul tiga sore, semua aktivitas selesai dan tidak ada bekas yang menandakan keramaian kegiatan bada lomban.
Penulis adalah pegiat budaya Jepara dan Wartawan SUARABARU.ID