blank

Oleh : Hadi Priyanto

Menurut cerita tutur, pada saat Adipati Citrosomo VII berkuasa, pada tahun 1855 ada dua pejabat kadipaten Jepara yang akan ke Karimunjawa. Mereka naik perahu dari Teluk Jepara pada pagi hari. Namun setelah berlayar beberapa waktu, datang badai yang sangat besar hingga membuat perahu mereka terombang-ambing.

Beruntung Ki Ronggo dan Encik Lanang yang tinggal disekitar Teluk Jepara mengetahui peristiwa tersebut. Kedua orang tokoh yang dikenal memiliki kemampuan “linuwih” ini segera memberikan pertolongan. Tanpa memperhatikan keselamatannya sendiri, kedua orang ini segera naik perahu untuk menolong kedua pejabat tersebut. Mereka berhasil diselamatkan dari amukan badai.

Ki Ronggo menurut cerita tutur masyarakat diyakini sebagai salah satu pimpinan pasukan Pangeran Diponegoro yang mengasingkan diri ke Jepara setelah Pangeran Diponegoro ditangkap tahun 1930. Ia tiba di Jepara sekitar tahun 1931. Ia memilih tinggal di Jepara, sebab ia memiliki sejumlah kerabat yang tinggal di kota ini saat Mataram berkuasa.

Sedangkan Encik Lanang konon adalah orang Melayu yang tinggal di Pulau Kelor yang sekarang dikenal sebagai Pantai Kartini. Ia seorang pedagang dan memperoleh ijin dari Pemerintah Hindia Belanda untuk menempati pulau tersebut karena jasanya membantu Belanda pada perang Bali.

Dari peristiwa itu, kemudian pejabat kadipaten yang hampir tenggelam bersama Ki Ronggo dan Encik Lanang membuat acara syukuran. Mereka juga mulai membuat sesaji yang dilarung kelaut. Tentu dengan ijin Adipati Jepara Citrosomo VII. Sesaji tersebut semula dimaksudkan sebagai ucapan syukur dua pejabat yang telah selamat dari badai. Disamping itu pada perkembangannya dimaksudkan agar Hyang Maha Kuasa melindungi para nelayan dari segala malapetaka di laut dan mendapatkan hasil tangkapan ikan yang melimpah setiap tahunnya.

Selanjutnya, mereka memilih waktu untuk larungan yaitu tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri. Kuat dugaan larungan pertama kali diadakan adalah setelah Hari Raya Idul Fitri 1303 H, saat kedua pejabat tersebut nyaris tenggelam. Ucapan syukur dua pejabat tersebut kemudian terus dilakukan setiap tahun.

blank
Suasana lomban tahun 1974 (Foto: Dok Dinas Arsip dan Perpusda Jepara)

Catatan Tertua Lomban Jepara

Catatan tentang kemeriahan kegiatan yang dilaksanakan tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri tersebut ditulis dalam Jurnal Hindia Belanda Tijdschrif voor Nederlandsch-Indie tahun 1868 dengan judul Het Loemban Feest Te Japara (Kegiatan Pada Lomban di Jepara ) tahun 1868.

Catatan sejarah tersebut diungkapkan oleh DR Alamsyah, M.Hum, pengajar Jurusan Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Undip Semarang dalam penelitian Budaya Syawalan atau Lomban Jepara : Studi Komparasi Akhir Abad ke-19 dan tahun 2013.
Dalam jurnal Tijdschrif voor Nederlandsch-Indie juga diungkapkan bahwa pesta lomban ini tidak ada ditempat lain di pesisir pulau Jawa. Ini berarti pesta lomban di Jepara adalah satu-satunya saat itu. Lomban tahun 1868 juga telah diikuti pengunjung dari Demak, Semarang, Rembang dan Juana yang datang dengan menaiki perahu.

Prosesi Lomban

Istilah lomban sendiri mengandung makna saling melempar atau berenang. Sedangkan dalam istilah lokal ketika anak-anak saling bersenang-senang saat mandi dan saling menyiram air disebut dengan lumbanan.

Sebelum pesta lomban diselenggarakan, masyarakat telah menghias perahunya dengan indah. Pada lunas depan, belakang dan tiang perahu dihias dengan rangkaian bunga pandan, kenanga, soka, dan ketupat yang saling terikat.

Kemudian para pemilik perahu menggantungkannya dengan bendera atau panji yang terbuat dari kain dan selendang warna-warni. Namun mereka lebih banyak menggunakan warna hijau.

Dalam pesta lomban tersebut ada beberapa orang yang menempatkan hiasan boneka seperti manusia dewasa yang disebut kedawangan di lunas depan perahu. Boneka ini terbuat dari kedobos atau tulang daun nibung. Selain itu perahu juga dihiasi dengan boreh yang berwarna kuning.
Perahu yang ikut dalam lomban juga membawa perlengkapan yang terdiri dari ketupat, telur itik yang telah membusuk dan kolang-kaling. Benda-benda tersebut nantinya digunakan untuk saling melempar. Sementara para perempuan memasak makanan yang diperlukan seperti lauk-pauk dan serbat.

Dalam pesta lomban ini bupati membawa dua belas payung dari bambu yang diberi roda. Sedangkan perahu yang dinaiki dilumuri dengan kapur dan kadang diberi gambar harimau, naga dan ikan. Juga membawa gamelan. Rombongan bupati yang diiringi juga para petinggi ini berangkat menyusuri sungai Kali Wiso yang terletak disamping kabupaten sampai laut dengan diiringan gending tabuh giro. Perahu nelayan juga banyak yang membawa gamelan.

Setelah sampai dilaut, ratusan perahu yang datang dari berbagai penjuru dan dipenuhi warga ini kemudian beramai-ramai beriringan ke pulau Panjang. Saat itulah mereka berteriak-teriak dan saling melempar telur, ketupat dan kolang-kaling. Juga dengan petasan.

Bupati bersama orang-orang para pejabat Belanda , kaum bangsawan Jawa dan keluarganya duduk disebuah pendopo yang telah dibuat sebelumnya untuk menyaksikan pesta.

Setelah itu pesta dimulai dengan ditandai ribuan telur, kolang-kaling dan ketupat yang dilempar ke udara. Warga yang hadir kemudian berlarian untuk menghindari telur busk dan kolang-kaling yang menyebabkan gatal. Kegiatan ini juga diwarnai dengan tari-tarian tradisional.

Kegiatan tersebut selesai sekitar jam tiga sore. Setelah itu semua rombongan kembali ke daratan Jepara dengan diiringi bunyi gamelan.

Penulis adalah pegiat budaya Jepara dan wartawan SUARABARU.ID.