blank
Agus Mardik, yang mendapatkan wasiat membuat perahu pembawa sesaji dalam lomban Jepara

Oleh : Hadi Priyanto

Larungan kepala kerbau dan “ubo rampe” sesaji yang diselenggarakan setiap tahun dalam kemasan acara pembukan Lomban Jepara bukan saja sebuah perhelatan budaya, tetapi dapat dimaknai sebagai sebuah ritus.

Sebab larungan tersebut didasarkan pada nilai-nilai tertentu dan dilaksanakan terus menerus serta diwariskan secara turun temurun oleh kelompok masyarakat tertentu. Bahkan jika pada awal kehadirannya hanya dilakukan oleh warga di sekitar Teluk Jepara, kini lomban telah menjadi milik masyarakat Jepara.

Apalagi Lomban yang diselenggarakan setiap 8 Syawal ini, sejak tahun 2020 telah menjadi salah satu Warisan Budaya Takbenda di Indonesia dengan nomor regestrasi 202001135 pada domain Adat Istiadat Masyarakat, Ritus dan Perayaan-Perayaan.

Jika dilihat dari catatan tentang kemeriahan kegiatan yang dilaksanakan tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri yang ditulis dalam Jurnal Hindia Belanda Tijdschrif voor Nederlandsch-Indie tahun 1868 dengan judul Het Loemban Feest Te Japara (Kegiatan Pada Lomban di Jepara ) tahun 1868 dan juga cerita tutur masyarakat Jepara, esensi larungan sesaji ini adalah sebagai wujud ucapan syukur masyarakat dan juga doa agar dilimpahkan rejeki dan keselamatan sepanjang tahun yang akan dilalui.

Ini pula yang dilukiskan dalam tulisan tentang lomban yang dimuat dalam Kalawarti/Majalah berbahasa Melayu bernama “Slompret Melayu” yang terbit di Semarang edisi tanggal 12 dan 17 Agustus 1893. Acara ini dimulai di Teluk Jepara atau Ujungbatu dan berakhir di pulau Kelor yang saat ini dikenal dengan nama Pantai Kartini Jepara

Ada doa dan laku

Untuk membawa sesaji yang sejak tahun 1920 saat Petinggi Ujungbatu dijabat oleh H. Sidik, ubo rampainya ditambah kepala kerbau, maka diperlukan perahu yang kemudian dilarung bersama 25 jenis sesaji diseputar pulau Bokor, sebelah utara pulau Panjang. Untuk membuat perahu ini diperlukan ritual khusus yang diwariskan turun temurun.

Kini pembuat perahu dilakukan oleh Agus Mardiko (53), penduduk RT 04/RW 04 Kelurahan Ujungbatu. Pria yang sehari-hari bekerja sebagai sekuriti Perumda Aneka Usaha Jepara ini menerima mandat dari almarhum H. Zaenal Arifin, mantan Kepala Desa Ujungbatu sekitar tahun 2005.

Menurut Agus Mardiko, bukan sekedar miniatur perahu yang harus dibuat agar bisa membawa sesaji yang akan dilarung. Tetapi ada juga doa dan laku yang harus dilakukan sebelum mulai membuat perahu. Diantaranya puasa selama 3 hari untuk menyucikan niat. “Juga ada bahan utama yang harus digunakan untuk membuat perahu yaitu kain putih, bambu apus dan batang pisang raja,” tutur Agus Mardiko.

Namun Agus tidak bersedia untuk mengungkapkan isi doa secara lengkap. Secara garis besar berupa permohonan kepada Allah agar rejeki nelayan melimpah dan “ kalis ing sambikala. “Juga permohonan agar Jepara dijauhkan dari segala “rubedo” dan yang ada adalah “tentrem raharja,” ujarnya. Jadi niatnya larungan sesaji ini adalah ucapan syukur dan memohon perlindungan kepada Allah. Juga ada makna simbolis membuang segala keburukan atas ridlo Allah, ujar Agus Mardiko

Menurut Agus, untuk ukuran perahu memang sejak awal tidak ada wasiat. “Untuk tahun ini ukuran perahu 90 cm x 3,5 meter. Sedangkan pada lambung perahu dengan ornamen warna merah dan putih ini dituliskan “Joyo Samudro”. “Ini juga doa dari nelayan, laut Jepara makmur atas ridlo Allah,” ujarnya.

Penulis adalah pegiatan budaya Jepara dan wartawan SUARABARU.ID Jepara