Oleh : Tri Hutomo,

Berbicara tentang Bank yang tergambar dibenak kita adalah suatu lembaga keuangan yang berkecimpung dengan segala bentuk transaksi keuangan. Akan tetapi pernahkah terbesit di pikiran kita, bahwa bank juga dapat memiliki peran dalam terjadinya kerusakan lingkungan?.

Kita ketahui bahwa apabila kita membutuhkan dana besar untuk menggarap suatu usaha, maka kita akan berpikir untuk melakukan pinjaman atau pembiayaan ke bank, dengan memenuhi syarat dan prosedur lembaga keuangan. Jika kemudian bank dalam pengambilan keputusan pembiayaan tidak memperhatikan aspek ESG (Environment, Social, and Governance) artinya adalah unsur lingkungan, sosial, dan tata kelola, maka bank patut diduga turut andil dalam kerusakan lingkungan.

Ini berarti bank hanya memperhatikan aspek keuntungan finansial yang akan didapat semata, dengan kata lain bank tidak membedakan antara kegiatan usaha yang berdampak buruk terhadap lingkungan dengan yang tidak.

Pemberian kredit oleh perbankan dapat memicu suatu masalah, bila kredit itu dipergunakan untuk usaha ataupun kegiatan yang pada akhirnya menimbulkan atau mengakibatkan pencemaran atau perusakan lingkungan hidup.
Dalam hal ini seharusnya badan-badan atau lembaga-lembaga keuangan yang memberikan kredit dapat digerakkan untuk berperan serta dalam pengelolaan lingkungan hidup . Sebagai salah satu pemberi dana, Bank harusnya tidak saja hanya melihat pertimbangan ekonomisnya, tetapi juga keterpaduan dengan lingkungannya.
Dengan demikian perbankan bisa mengantisipasi dalam membiayai suatu kegiatan usaha yang diperkirakan akan dapat menimbulkan dampak yang merugikan ekosistem, apalagi kegiatan usaha yang berada di Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) seperti Karimunjawa.

Pada sistem perbankan, dengan pertimbangan faktor-faktor keseimbangan lingkungan akan mengeliminisasikan resiko-resiko dalam pemberian kreditnya kepada nasabah debitur. Dalam Pasal 22 ayat (2) Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), untuk menentukan suatu kegiatan yang memiliki dampak penting terhadap lingkungan hidup ditentukan oleh beberapa faktor.
Diantaranya jumlah manusia yang akan terkena dampak, luas wilayah persebaran dampak, intensitas dan lamanya dampak berlangsung, banyaknya komponen lingkungan lainnya yang terkena dampak, sifat kumulatif dampak tersebut, berbalik (reversible) atau tidak berbaliknya (irreversible) dampak dan kriteria lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Berkaitan dengan hal tersebut , sektor perbankan dalam membiayai suatu kegiatan usaha secara umum dapat mengkaji seperti adanya hal-hal yang berbahaya terhadap kesehatan yang berkaitan dengan proses kegiatan usahanya, akan terjadi gangguan yang cukup berarti terhadap masyarakat, ada potensi konflik dengan kepentingan lainnya, perlunya penambahan pembangunan infrastruktur termasuk transport dan pembangkit tenaga listrik yang ada, usaha yang dijalankan sudah memiliki instalasi pengolahan limbah atau belum, keseluruhan itu perlu dikaji.
Karena sektor perbankan yang berfungsi sebagai intermediary dalam pembangunan telah melakukan mobilisasi dana masyarakat dan menyalurkan dana tersebut antara lain berupa pembiayaan kredit pada usaha-usaha dalam proses pembangunannya. Penjabaran pelaksanaan wawasan tersebut tercermin pada Pasal 22 ayat (1) UUPPLH.

Dalam hal ini, sikap tanggap perbankan Indonesia yang ditujukan pada pembangunan berwawasan lingkungan sebagaimana diatur dalam UUPPLH sehingga peran dan tanggung jawab bank dalam penegakan hukum lingkungan menjadi jelas sebagaimana dinyatakan dalam Hukum Perbankan berdasarkan UU No 10 tahun 1998 tentang perubahan atas UU no 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.
Dalam penjelasan pasal 8 ayat (1) antara lain menjelaskan bahwa dalam memberikan kredit atau pembiayaan berdasarkan prinsip syariah harus pula memperhatikan komitmen terhadap pengelolaan lingkungan, hasil analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) bagi usaha yang berskala besar dan/atau berisiko tinggi agar kegiatan usaha yang dibiayai tetap menjaga kelestarian lingkungan.
Maka peran dan tanggung jawab perbankan dalam pelaksanaan hukum perkreditan berwawasan lingkungan, bank perlu melakukan antisipasi terhadap potensi pencemaran dalam kegiatan usaha calon nasabah debitur, setidak-tidaknya karena tiga hal, yaitu sebagai pemegang kredit, ikut dalam manajemen dan demi keamanan atau kelancaran pembayaran kredit itu sendiri.

Ada beberapa ketentuan dalam UUPPLH yang dapat dijadikan landasan bagi peran dan tanggung jawab bank dalam pelaksanaan green banking dalam hukum perkreditan di Indonesia, antara lain Pasal 22, Pasal 36, Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, dan Pasal 68.
Disamping itu pula dapat diambil kebijakan dari pemerintah dalam bidang perbankan yang mendorong ditingkatkannya upaya pelestarian kemampuan lingkungan hidup untuk menunjang pembangunan yang berkesinambungan, antara lain dari UU Perbankan pada Penjelasan Umum Angka 5 Pasal 8 ayat (1).

Lingkungan hidup secara ekologis tidak mengenal batas wilayah administratif, batas institusi, ataupun batas ras, suku, agama ataupun golongan. Termasuk di dalamnya dunia perbankan. Dalam rangka investasi untuk kegiatan suatu usaha perlu dilakukan studi kelayakan baik aspek ekonomi, teknik dan lingkungan. Meskipun dari sisi kelayakan ekonomi dan teknik telah terpenuhi, namun jika kelayakan lingkungan tidak terpenuhi maka investor atau bank harusnya tidak akan mengucurkan dana bagi keperluan investasi.

Terkait dengan hal dimaksud, Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 7/2/2005 tentang Penilaian Kualitas Aktiva Bank Umum, yang mengatur bahwa penilaian terhadap prospek usaha sebagai unsur kualitas kredit, meliputi penilaian terhadap upaya yang dilakukan debitur dalam rangka memelihara lingkungan hidup. Pada Pasal 10 mengenai Kualitas Kredit ditetapkan berdasarkan faktor penilaian prospek usaha.

Bank memang tidak turun langsung ke kawasan hutan mangrove membawa alat berat dan gergaji untuk membuka lahan, akan tetapi sokongan dana yang mereka kucurkan telah memperlancar pendzoliman lingkungan yang dilakukan atas kegiatan usahanya.

Apakah ada suatu keniscayaan dalam dunia perbankan yang pro terhadap lingkungan di Jepara? Bukan tidak mungkin, apabila ada perubahan mindset dalam pembiayaan usaha di setiap lembaga keuangan dan menerapkan kebijakan ESG serta adanya balancing antara keuntungan finasial dan non finansial maka bank yang pro lingkungan akan terwujud.

Selain itu perlu adanya peran pemerintah secara signifikan dan serius terhadap masalah ini. Saat ini memang Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah menegaskan bahwasanya korporasi yang dalam praktiknya merusak lingkungan dipastikan tidak akan dapat kredit dari bank. Hal tersebut merupakan langkah progresif dan yang perlu diutamakan adalah implementasi dari kebijakan tersebut serta penegasan sanksi bagi pelanggar baik itu berasal dari bank maupun dari korporasi yang bersangkutan terutama di wilayah yang telah mendapatkan payung hukum khusus seperti Kawasan Strategis Pariwisata Nasional Karimunjawa.

Penulis adalah Ka. Adv. Departemen Perijinan, Pesisir Laut dan Kehutanan Kawali Jawa Tengah