blank
Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa. Foto: Dok/IESR

“Saat ini, iklim investasi pengembangan pembangkit listrik energi terbarukan memang belum kondusif. Salah satu penyebabnya adalah disebabkan oleh sejumlah regulasi yang meningkatkan biaya tinggi. Misalnya, untuk pengembangan PLTS skala utilitas, ada aturan TKDN yang mengharuskan penggunaan komponen dalam negeri yang harga produknya masih lebih mahal dan kalah dari segi kualitas dari komponen impor,” tutur His Muhammad Bintang, Peneliti IESR yang juga merupakan penulis utama laporan ini.

Meskipun demikian, tren penurunan harga teknologi diperkirakan membuat pembangkit energi terbarukan lebih kompetitif dalam waktu dekat. PLTS, contohnya, proyeksi LCOE PLTS skala utilitas baru di tahun 2050 akan mencapai 3 sen/kWh atau lebih rendah, jauh lebih murah dibandingkan biaya operasi PLTU batubara eksisting.

Pada 2030an, kombinasi PLTS dan BESS akan semakin terjangkau dan kompetitif dibandingkan dengan listrik dari PLTU Terlebih, pemerintah mulai mengimplementasikan aturan pengurangan emisi, misalnya lewat mekanisme carbon pricing dan pembatasan gas-gas buang yang dapat meningkatkan LCOE PLTU.

“Kompetitifnya harga sistem penyimpanan energi tentu membantu pengembangan energi terbarukan. Salah satu tantangan pembangkit energi terbarukan seperti PLTS dan PLTB adalah intermitensi yang membutuhkan integrator agar stabilitas sistem eksisting tetap terjaga. Sistem penyimpan energi ini lah integrator yang paling populer karena fungsinya yang bervariasi,” jelas Bintang.

Menyoal penggunaan CCS pada PLTU batubara untuk mengurangi emisi GRK, Deon Arinaldo, Manager Transformasi Energi, IESR, menyatakan hal tersebut justru akan meningkatkan LCOE PLTU batubara.

“Inisiatif untuk menggunakan CCS pada PLTU batubara seharusnya tidak menjadi pilihan lagi karena dua alasan. Satu, belum ada implementasi CCS ke PLTU batubara yang sukses mencapai target pengurangan emisnya. Dua, LCOE dari PLTU batubara dengan CCS akan meningkat sampai setidaknya dua kali lipat atau lebih besar dari 10 cent per kWh,” terangnya.

Menurut Deon, ini setara dengan memberlakukan carbon tax sekitar 50 dolar per Ton CO2e ke seluruh emisi PLTU batubara. Semua energi terbarukan sudah jauh lebih kompetitif dan terbukti (proven) untuk menghasilkan listrik tanpa emisi GRK.

“Industri manufaktur energi terbarukan seperti surya dan juga baterai berpeluang menciptakan basis ekonomi baru, menciptakan lapangan kerja hijau, dan juga membantu mendorong LCOE dan LCOS energi terbarukan dan Energy Storage System (ESS) lebih murah lagi di Indonesia dalam jangka panjang,” jelasnya.

“Oleh karena itu, perlu ada strategi integrasi pembangunan listrik energi terbarukan dan ESS dengan pengembangan industri manufaktur lokal. Misalnya untuk energi surya, perlu mengalokasikan pasar energi terbarukan yang besar di Indonesia untuk membantu pertumbuhan industri lokal dan juga insentif industri lokal untuk membangun rantai pasok lengkap dan produksi modul tier 1 kualitas ekspor,” lanjut Deon.

IESR mendorong agar PLN sebagai operator sistem kelistrikan dapat secara aktif menerapkan solusi untuk mengatasi intermitensi energi terbarukan, misalnya dengan penyesuaian sistem operasinya dan meningkatkan fleksibilitas sistem. Selain itu, pemanfaatan sistem penyimpanan energi perlu dipersiapkan ketika penetrasi energi terbarukan sudah cukup besar di sistem energi di Indonesia.

Ning S