blank
Ilustrasi. Foto: pixabay

Oleh: Amir Machmud NS

blankSAYA mengajukan “permasalahan” seperti judul artikel ini dalam Diskusi “Pers dan Peran Menjaga Demokrasi Menuju Tahun Politik 2024”, di Auditorium RRI Semarang, Kamis 9 Maret 2023.

Dua narasumber lain dalam rangkaian kegiatan Hari Pers Nasional 2023 Tingkat Jawa Tengah itu adalah pakar ilmu komunikasi Undip Turnomo Rahardjo, dan Ketua Prodi Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW Ester Krisnawati.

Posisi pers belakangan ini memang makin sering disoal: di tengah realitas ruang digital yang didominasi media sosial, di manakah media mainstream mendapatkan “maqam“-nya? Tetap sebagai leader dalam sistem informasi, atau tanpa disadari menjadi follower yang makin tergopoh-gopoh dalam kerancakan gerak medsos?

Medsos sebagai “pemimpin pasar informasi” benar-benar berkembang sebagai keniscayaan komunikasi yang disruptif. Ini adalah sunnatullah di tengah fenomena lompatan perkembangan teknologi informasi. Kondisi inilah yang membuka kenyataan pentingnya pikiran dan langkah kolaboratif.

Walaupun duopoly media itu punya karakter dan dunia masing-masing, dalam praktiknya media arus utama membutuhkan medsos. Sebaliknya, medsos juga tidak bisa meyakinkan persebaran informasi berstandar jurnalistik tanpa ditopang oleh peran pers.

Demokrasi dan Kebajikan
Dengan gambaran kolaborasi itu, siapakah yang akan dikawal agar punya kontribusi kemanfaatan bagi kehidupan demokrasi kita?

Dalam sistem kehidupan secara umum, yang salah satu subsistemnya adalah demokrasi, tak terelakkan bahwa pers punya peran sentral yang sistemik secara kesejarahan.

Demokrasi jelas membutuhkan peran pers sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999, yakni memberi informasi, memberi pendidikan, memberi hiburan, dan menjalankan kontrol sosial.

Fungsi-fungsi itu, yang dipayungi oleh bingkai etika substantif dan etika operasional berupa Kode Etik Jurnalistik, menggambarkan “gabungan kebajikan” untuk “menjaga bangsa” dari usikan aneka kepentingan.

Larangan wartawan untuk beriktikad buruk, kewajiban bersikap imparsial, akurat, dan diharamkan memberitakan potensi-potensi SARA bukankah jelas merupakan “kebajikan” yang bersandar pada kesadaran kebangsaan, keberagaman, dan kebinekaan?

“Mahkota” itulah yang mestinya secara idealistis memosisikan pers sebagai leader dibandingkan dengan medsos yang memproduksi aneka informasi tidak dalam standar dan mekanisme jurnalistik.

Bukankah dalam praksis demokrasi seharusnya kita juga bisa membedakan, mana informasi yang betul-betul merupakan produk pers, mana pula produk endorser, influencer, dan terlebih lagi buzzer?

Gaya Buzzer
Realitasnya, diakui atau tidak diakui, makin mendekat ke kontestasi politik 2024, terasa banyak media yang berperforma ala buzzer. Mirip dengan masa-masa di seputar Pilpres 2014, 2019, dan Pilgub DKI 2018.

Bisa disimak, banyak model pemberitaan yang cenderung membabi buta dalam memberi ruang tampil kepada tokoh-tokoh “pilihan media” tertentu. Kelebihan dan keunggulannya semaksimal mungkin di-blow up. Sebaliknya, menerapkan standar berbeda, dengan marginalisasi pemberitaan kepada tokoh dalam posisi sebaliknya. Tentu sikap itu tergantung pada kebijakan media-media.

“Ruang tampil” itu berupa argumentasi “layak pilih” yang dielaborasi sedemikian rupa. Otomatis, perlakuan sebaliknya dikondisikan untuk tokoh yang terposisikan berseberangan.

Stigmatisasi pun akhirnya membelah bangsa ke dalam dua kubu yang dikotomikan dalam faksi “kebangsaan” dan faksi “aliran”, yang dengan sembarangan sering dipublikasikan sebagai kelompok toleran dan intoleran.

Realitas stigmatisasi yang awalnya lebih banyak menjadi konsumsi medsos, terasa pula ditampilkan di ruang media mainstream. Demokrasi pun bergerak bukan lagi melalui adu kecerdasan gagasan, memersuasi khalayak dengan logika penawaran harapan tentang kondisi yang lebih baik; namun menjadi ruang saling menyerang, bahkan banyak yang di-setting dan framing hingga ke relung keyakinan ideologis.

Menerima perbedaan adalah salah satu tradisi demokrasi. Sudahkah pers memaknainya dalam gestur dan nada pemberitaan?

Menyadari hakikat keberagaman dan kebinekaan adalah sunnatullah sebagai keindahan nilai hidup berindonesia. Bagaimana strategi pers untuk menjadikannya sebagai ungkapan “Pers Pancasila” yang tidak hanya berbusa-busa di mulut melainkan menjadi “laku jurnalistik”?

Menjaga demokrasi dalam trek keindonesiaan menjelang 2024 adalah memberi makna, mentransformasi nilai, agar pers berkontribusi menguatkan kebinekaan bagai darah yang mengalir dalam ideologi pemberitaan media.

Dan, bukankah praksis itu yang akan menguatkan hakikat kultur hidup bersama, setara, toleran, dan saling menebar kasih sebagai hidup yang berkeindonesiaan?

Amir Machmud NS; pengajar Ilmu Jurnalistik Prodi Ilmu Komunikasi Fiskom UKSW, wartawan suarabaru.id, dan Ketua PWI Provinsi Jawa Tengah