Kalau tadi saya berseloroh “perlu kita viralkan,” sebenarnya saya nyinyir, eh nyindir, masak sih kita mau bersikap begitu terus. Masak sih selokan mampet di depan rumah kita sendiri, tidak mampu diselesaikan sendiri dan menumpukannya kepada ketua RT? Ora ilok, dan ora elok dong!!
Kata ilok mempunyai dua makna, yakni kala-kala, kadhang kala, yaitu sering-sering; dan patut utawa pantes, yaitu pantas. Maka sesuatu disebut ora ilok kalau hal itu (i) ora becik, tidak/kurang baik, (ii) nerak gugon tuhon lan wewaler, yaitu melewati atau melanggar aturan umum atau hal yang pantas dihormati, tidak boleh begitu; dan (iii) ora lumrah, tidak sewajarnya.
Baca juga Ora Mekakat
Sedangkan kata elok, berarti (a) nyimpang saka kahanan kang lumrah, bukan sesuatu yang wajar atau lumrah, dan (b) aeng (bacalah seperti menngucapkan kaleng) yaitu aneh, asing. Maka ora elok berarti tidak etislah, tidak pada tempatnya; malahan dalam hal tertentu ora elok dapat juga bermakna tidak kesatria.
Mau terus?
Masih mau terus “Sedikit-sedikit (sing salah) istana” kah? Maaf seribu maaf, kalau masih ada warga yang terganggu kucing gandhik (hebohnya kucing kawin) lalu telepon Pak RT atau bahkan mengeluh ke wali kota, wahhh………… jan kebangeten tenan, sampeyan.
Dalam hal sangat prinsip, pun karena betul-betul demi kepentingan rakyat banyak, menumpukan dan meminta tanggungjawab kepada pimpinan, adalah justru kewajiban masyarakat. Namun, dalam hal remeh temeh kucing gandhik atau bupati ndlenger (abai), tentulah harus diatasi dengan/lewat kemampuan sendiri.
Mari semakin pintar memilah, hal-hal seperti apa perlu kita atasi sendiri sebagai bagian dari hak dan kewajiban anggota masyarakat; mana pula yang ranahnya sudah harus pada pimpinan. Ora ilok ta, ketua RT justru yang diminta membuang tikus mati; dan sangat ora elok serba menyalahkan “istana” seolah-olah semua hal itu menjadi urusan istana dan menuntut istana harus tahu semuanya.
JC Tukiman Tarunasayoga, Ketua Dewan Penyantun Universitas Katolik (UNIKA) Soegijapranata, Semarang