blank
Fenmena kerasukan bisa dijelaskan secara metafisika maupun secara ilmiah. Foto: Baliexpress

blankPADA perkembangan zaman, lahir dua profesi, yaitu pelaku metafisika dan pengamat metafisika. Pelaku metafisika adalah orang yang menerima konsep “tempo dulu” tanpa analisis. Sedangkan  pengamat itu orang yang menerima setelah mengamati terlebih dulu.

Namun standar penelitian itu tidak seperti penelitian ilmu yang bersifat fisika. Dan saya termasuk yang mengalami “kecelakaan metafisis”. Berawal sejak 1993-1996, saat saya menulis di sebuah rubrik yang mengedepankan pendekatan rasional dan sesekali mengkritisi metafisika melalui guyonan.

Seorang penulis dituntut lebih memanfaatkan otak logika yang mengedepankan analisis, bahkan, metafisika pun bisa dijadikan anekdot. Maka, dari tulisan bernuansa mistik ini terdapat sisi lain yang mencerdaskan.

Namun ada “keyakinan” yang dulu ada, secara bertahap mulai memenipis, karena analisis yang lebih mengedepankan sisi ilmiah justru menjadi penghambat untuk memelajari kekuatan supranatural.

Misalnya, dulu saya terkadang bermain debus, atraksi ilmu kebal bermodal ilmu yang dilambari keyakina. Ketika keyakinan itu mulai goyah karena analisis logika, justru menyebabkan saya harus berurusan dengan karena kecelakaan saat uji coba.

Baca juga Manajemen ‘Orang Pintar’

Ketika bermain diawali pemikiran logis dan hati menganalisis, muncul pikiran, “Ini kulit tipis, golok ini tajam, ngeri juga, ya!” Maka, apa yang dipersepsikan pikiran itu terjadi dan robeklah kulit saya.

Padahal, dulu saya pernah mengalami kondisi ketika logika “diistirahatkan,” semakin keras tusukan atau sabetan golok saat  beradu  dengan tubuh, terasa asyik-asyik saja. Mistik tradisional lebih dominan dikuasai orang yang berpikir tradisional, yang percaya tanpa analisa yang pada umumnya, lebih dimiliki orang pedesaan atau pedalaman.