blank

JEPARA (SUARABARU.ID) – “Memandang bulan di langit malam, kilau gemintang di langit muram, sudikah engkau menunggu waktu, hasratku senyap dipeluk rindu. Bening Rasa redakan gulita, bersihkan perih memutih putih, sirnakan semua buanglah duka, bersihkan perih memutih putih. Berjiwa kelam membatu dendam, punahlah warna beragam rupa. Hu… memutih putih…. hu… memutih putih, hu…. memutih putih,”

Alunan lagu yang dinyanyikan oleh Eswal Waluyo dengan sepenuh hati dan jiwa itu menjadi salah satu bentuk kecintaan musisi senior Jepara itu kepada almarhum Muhammad Iskak Wijaya. Juga ekspresi kesedihan atas berpulangnya seseorang yang dianggap sebagai sahabat, teman, orang tua dan sekaligus inspiratornya.

Syair lagu itu diambil Eswal dari penggalan puisi karya Iskak Wijaya, Memutih Putih yang dinyanyikannya dalam album Eswal Redja di album Warna tanpa Warna

blank
Eswalsaat membawakan lagu Memutih Putih yang diambil dari puisi M. Iskak Wijaya

Bukan hanya Eswal. Puluhan seniman dan aktivitas budaya yang Minggu (29/1-2023) bersehati bertemu di Waroeng Mas Jenggo Jinggotan dalam acara Pesan-pesan Monolog dan Doa Memutih Putih untuk Muhammad Iskak Wijaya juga menumpahkan rasa cintanya pada almarhum. Juga rasa kehilangan yang mendalam.

Sebab selama 12 tahun berada di Bumi Kartini ada banyak catatan yang telah dilakukan untuk menaburkan dan menyemai kebangkitan budaya Jepara. Acara dipandu oleh tuan rumah Didin Ardiyansyah yang menyebut acara Monolog itu sebenarnya digagas oleh almarhum.

Acara dibuka dengan doa oleh H. Ahmadi, seorang tokoh agama dan seniman Kecamatan Kembang dan kemudian dilanjutkan dengan monolog sekapur sirih tentang Iskak Wijaya dan mimpi-mimpinya oleh Hadi Priyanto. Hadi yang mengenal almarhum sejak 2012 sempat menghentikan testimoninya beberapa kali sambil menunduk sembari menarik nafas panjang.

Sementara, budayawan Fakrudin dengan isak yang dicoba ditahan dalam monolognya yang ditujukan kepada almarhum menyebutnya, Iskak Wijaya ibarat mata air yang tak pernah habis untuk diminum. “Wawasan pemikiranmu yang begitu luas, caramu bicara yang rapi dan indah tertata, referensi yang seolah tak ada habisnya membuat kamu adalah guru yang pernah menggurui. Kamu adalah guru kehidupan bagi kami,” ujar Fakrudin yang akrab disapa Brodin

blank
Aktivis budaya Jepara, Fakhrudin saat menyampaikan monolog untuk Iskak Wijaya

“Selama satu dasawarsa lebih kamu bergelut dan mengalir dalam dinamika arus perubahan Jepara. Wacana, konsep gerakan, agenda – agenda mengalir begitu deras. Pengalamanmu di kancah nasional telah kamu transformasikan dengan iklim dan admosfir kultural di Jepara. Saya tahu itu tidak mudah dan memerlukan energi besar hingga kamu sangat lelah walau tak sedikitpun terdengar keluhmu,” ungkap Brodin yang mengenal Iskak Wijaya sejak tahun 2019 dalam acara Ngopi Shopia dan kemudian menjadi teman almarhum.

Beliau seorang revolusioner yang menjadikan kesunyian sebagai sarang yang hangat bagi lahirnya gagasan, pikiran dan inspirasi gerakan kebudayaan. Itu pula yang kau ajarkan dalam lakumu kepada kami, tambahnya.

Hal senada juga disampaikan penulis buku Kholis J. Irohati yang mengaku mengenal Iskak Wijaya belum lama. ”Ibarat seorang murid, saya adalah murid almarhum di tingkat PAUD,” ujarnya. Namun ada banyak pelajaran yang telah diberikan dalam waktu yang singkat.

Almarhum seperti mata air yang memberikan kehidupan, spirit dan inspirasi bagi orang-orang yang ada disekitarnya hingga mereka berdaya. “Tugas kita bersama adalah menjaga mata air itu mengaliri ke lahan-lahan kering hingga tumbuh pepohonan yang rindang,” ujar Kholis J. Irohati sembari mengungkapkan sejumlah nasehat almarhum yang tak dirasakan sebagai menggurui.

Sementara pegiat sastra Jepara, Aminan Basyarie usai membacakan puisi M. Islak Wijaya juga menyampaikan permohonan maaf pada almarhum. “Saya tidak mengerti beliau sedang sakit dan kondisinya semakin melemah. Namun saat kami undang dalam peluncuran buku puisi Sonya karya Alie Emje sekitar sebulan yang lalu, beliau tetap hadir walaupun badannya basah diguyur hujan,” kenang Aminan Basyarie.

Bahkan ketika acara usai almarhum tak bergegas pulang. Masih ngobrol dengan kami seputar sastra klasik hingga kontemporer hingga dini hari. “Tak sedikitpun nampak rasa lelah atau sakit. Ada banyak nasehat untuk menjadikan sastra sebagai sebuah gerakan,” ujar Aminan.

Ada sejumlah tokoh yang malam itu hadir seperti Ki Dalang Hadi Purwanto yang menyebut almarhum sebagai teladan dan juga guru dalam gerakan kebudayaan berbasis seni tradisi. Juga ada Ki Hendro Surya Kartika yang menyebut Iskak Wijaya sebagai guru spiritual yang selalu menguatkan dan memberikan nasehat. Juga ada aktivis Tigor Sitegar yang menyebut almarhum sebagai revolusioner.

“Ada banyak nasehat tentang gerakan yang diberikan kepada kami. Bergerak dari pinggiran, tak pernah henti tak pernah putus,” ujar Tigor. Juga ada Ali Burhan dari Lesbumi Jepara yang menyebut almarhum telah mengabdikan dirinya untuk kebudayaan Jepara. Sementara Agung Tri Laksono membacakan puisi untuk mengenang dabn mengekspresikan cinta dan kagumnya pada Iskak Wijaya.

Muhammad Iskak Wijaya memang telah menghadap Sang Khaliq setelah hembusan nafas terakhirnya diusia 52 tahun, Jumat “(27/1-2023|) jam 09.15 WIB. Saat ini jazadnya terbaring di makam Kedondong, Pondok Melati Bekasi. Jazad itu telah kembali ke tanah. Kini semua orang yang mengenalnya hanya bisa mengenang semua kebaikan, gagasan, semangat dan inspirasi yang telah ditorehkan dengan hatinya untuk kebudayaan Jepara. Tentu berusaha mencoba meneruskan dan mewujudkannya dengan temen, temen-temen dan temenan. Itu nasehat bijak RMP Sosrokartono yang dijalani almarhum selama mengabdikan diri di Bumi Kalinyamatan, Jepara (*)