blank
Ilustrasi.

Cerita Pendek Catur Pramudito

SEDARI tadi, bapak masih duduk di bangku teras belakang, diam menatap gerimis sore dengan rokok yang tertahan di sela jemari. Datangnya gerimis yang tanpa aba-aba ini, menunda sebentar rentetan rutin di perkarangan belakang rumah. Tentang anggrek, vanili dan bunga-bunga hasil jerih yang barangkali tak payah bagi bapak.

Sekarang ia isap lagi dalam hembusan yang panjang, asapnya membumbung ke atas kemudian mengurai bersama angin. Ya, bapak memang orangnya begitu, kata ibu. Banyak diam, atau barangkali terlalu banyak.

Di waktu-waktu senggang, kerap aku berpapasan dengan bapak dalam ingatan, ketika sore atau tengah malam, ngerokok sendirian di teras belakang. Ingatan semacam itu yang melulu datang dan membangun makna tentang sosok “bapak” yang sesungguhnya. Meski tak sepenuhnya kupahami, bagaimana bapak memaknai kamus “bapak” dalam dirinya sendiri.

Dari punggungnya, selalu ada rahasia yang tersimpan, makanya aku lebih suka menciptakan perjumpaan imajiner, dan ia lebih banyak bicara dan bercerita. Meruangkan ingatan tentang bagaimana bapak pada masa kanak-kanakku dulu, lebih melegakan ketimbang bercakap dalam bahasa diam yang aneh.

Tawa renyah kerap mewarnai ruang keluarga selepas petang jatuh. Dimana bapak dan ibuk duduk di ruang yang sama, sembari melepas lelah menyaksikan opera komedi di televisi. Sebentar sebentar tawa terlempar kesana kemari, membikin kesedihan tampak begitu berharga ketika ingatan semacam itu terlintas kembali.

Ah, memang ada saatnya semua berubah. Dan perubahan itu terasa menyesakan. Membawa kehilangan yang datang sebelum waktunya. Membuat keluarga seperti opera komedi, menampilkan dusta dan ironi dalam raut yang janggal.

Setelah peristiwa itu, selepas petang, aku seorang diri termenung di sofa menyaksikan opera. Memang tak ada lagi adegan yang mengasyikan dari itu semua.

Tak ada pula alasan mengapa orang harus tertawa. Melihat sekumpulan orang bodoh yang bersandiwara di atas panggung, mengenakan pakaian serba aneh. Dan berbicara dalam bahasa yang dibuat-buat. Menghadirkan berbagai kesan yang begitu lain.

Sejenak, wayang opera itu bertingkah seperti badut-badut lucu di pasar malam. Hanya saja mereka memiliki banyak properti berupa replika benda-benda keseharian dari sterofoam.

Properti itu ternyata bagian dari rencana, untuk akting memukul atau menjatuhkan diri di atasnya. Baru setelah beranjak dewasa aku mengerti, mereka memang lain dari badut-badut di pasar malam itu, sebab para badut tak pernah menyakiti dirinya sendiri atau orang lain demi sebuah lelucon.

Meski dalam kepura-puraan yang menyedihkan.

Pada waktu itu aku tak tahu bagaimana menangkap segala kejadian yang berlangsung begitu cepat. Rasa-rasanya seperti terbangun dari tidur yang lama, dan tak henti-hentinya gamang memandang kenyataan dengan mata yang seketika terbuka.

Hari demi hari kemudian, selepas petang tiba, detik terasa terhenti. Sejak saat itu, rumah perlahan menjauh dan menelantarkan seisinya dalam gulita malam yang senyap.

Entah bagaimana caranya menerjemahkan peran dalam kenyataan yang membingungkan. Dimana aku berada? Selain berdiri dari balik jendela, membingkai sosok laki-laki asing yang lupa kemana ia harus pulang.

Atau apakah aku berdiri di batas perkarangan rumah? Memandang diriku sendiri dari luar jendela, yang diam menatap dirinya sendiri pada sebuah cermin yang ganjil.

Sepintas bapak masih duduk tenang melihat rintik hujan yang kian menderas, asapnya terbang dan tak lagi peduli kemana angin membawanya.

Kenangan yang melintas sesaat terasa amat lambat. Kepadanya sesak semakin menghujam, berayun ringkih membawa napas yang berat.

Mengapa perasaan ini selalu sukar buat dipahami? Sulit dimengerti kenapa ia selalu hadir tanpa perjumpaan? Kian berisik dalam kebisuan?

Hingga detik demi detik kemudian, waktu seolah berbisik dalam bahasa yang teramat akrab, tentang tirai yang dengan lembut tergerai, memberi celah pada jiwa akan keterusterangan dan penerimaan, juga sebuah permohonan maaf.

Di teras belakang bapak masih mengamati waktu, mengira-ngira kapan hujan reda sambil menyeduh kopi buatanya sendiri. Menyulut sebatang lagi dengan bahasa tubuh yang begitu tenang.

Duduk dengan kaki menyilang dan tenggelam dalam hisapan pertama. Ia tak pernah tahu, dari balik jendela ada rahasia yang tak pernah ia tanya, tentang masa silam dan segala yang tertinggal di dalamnya. ***